CIREBON – Dr Netty Prasetiyani, Anggota Komisi IX DPR RI dari Dapil Cirebon- Indramayu, mengaku amat menyesalkan adanya wacana pemberian sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan yang justru muncul bersamaan dengan rencana kenaikan iuran.
“Saat ini masyarakat semakin terbebani dengan himpitan ekonomi. Kondisi ini seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Pemerintah seakan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan BPJS Kesehatan,” ujar Netty disela menghadiri kegiatan Musyawarah Cabang DPC PKS Se-Kabupaten Cirebon, Minggu (13/10).
Hal lain yang merisaukan Netty, adalah permintaan kenaikan gaji bagi pengelola BPJS. “Kenaikan gaji direksi itu sangat menyakitkan. Sementara warga kesulitan membayar premi dan BPJS mengalami defisit, seharusnya pengelola memiliki sense of crisis,” katanya.
Sebagaimana telah menjadi perbincangan publik, lanjut Netty, pemerintah sedang menggodok Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur tentang sanksi yang dikenakan kepada penunggak iuran BPJS Kesehatan. Hal ini sebagai respon pemerintah atas kinerja BPJS Kesehatan yang menanggung defisit hingga diperkirakan menyentuh angka Rp32,84 T di akhir 2019. Sebenarnya, kata dia, aturan terkait sanksi sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
“Dalam Pasal 9 aturan di atas, antara lain disebutkan, sanksi berupa tidak mendapat pelayanan publik seperti, penerbitan IMB, mempekerjakan TKA dan pencabutan izin usaha akan dikenakan pada perusahaan yang lalai membayarkan iuran pekerjanya. Sementara sanksi tidak mendapat layanan publik seperti pengurusan IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor, atau STNK akan dikenakan pada peserta BPJS Kesehatan mandiri. Meski sudah ada aturan, namun, selama ini belum ada implementasi penegakan sanksi serius di lapangan terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan,” paparnya.
Menurut Netty, sanksi dengan cara membatasi rakyat dalam mengakses hak rakyat lainnya dinilai bertentangan dengan amanah konstitusi. “Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar rakyat yang harus dijamin oleh negara. Sementara saat ini, pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, mudah diakses, dan menjangkau seluruh rakyat hingga ke pelosok. Jadi, seharusnya, BPJS berfokus pada penyelesaian akar masalah di internalnya, semisal membangun sistem manajemen klaim yang menjamin bersih dari korupsi,” tegasnya.
Pendekatan legal formal sendiri, ungkap dia, sudah mulai ditinggalkan oleh negara maju seperti Inggris dan AS karena mereka mulai mengadopsi pendekatan perubahan perilaku untuk meningkatan rasio pembayaran iuran jaminan kesehatannya.
Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, kata Netty, defisit BPJS antara lain disebabkan oleh pemanfaatan layanan lebih tinggi daripada jumlah peserta, adanya perusahaan yang tidak tertib pembayaran iuran, status peserta aktif yang rendah, data peserta tidak valid dan persoalan manajemen klaim.
“BPJS membuat standardisasi pembiayaan. Jangan sampai pihak RS mengajukan klaim dengan nilai yang berbeda-beda untuk item obat-obatan atau alat kesehatan,” katanya.
Standardisasi ini, kata dia, dikenal dengan health technology assesment di negara maju seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Pemanfaatan konsep tersebut secara menyeluruh akan memperlihatkan pembiayaaan yang layak untuk metode penyembuhan untuk setiap penyakit.
Dalam kesempatan tersebut, Netty menyampaikan bahwa sentralisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh BPJS Kesehatan, dirasa cukup membatasi peran pemerintah daerah untuk melakukan intervensi melalui program Jamkesda terutama daerah yang memiliki kemampuan keuangan. Melihat polemik yang dihadapi BPJS Kesehatan, Netty meminta dilakukan pengkajian kembali kewenangan daerah untuk mengelola Jamkesda sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Selain itu.
“BPJS harus terus berinovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan yang berorientasi pada service excellence sehingga konsumen merasakan kemudahan dan kenyamanan dalam pelayanan,” tukasnya.
Dan yang cukup penting, kata Netty, lakukan edukasi secara terprogram dan terus menerus pada masyarakat terkait layanan BPJS, pemahaman pencegahan penyakit dengan pola hidup sehat dan sistem saling membantu sesama dalam pembiayaan kesehatan.
“Tingkatkan peran kader JKN-KIS sebagai garda depan dalam fungsi sosialisasi (pemasaran sosial), perekrutan peserta, pengingat dan pengumpulan iuran. Dengan begitu, target pertumbuhan jumlah peserta dan peningkatan kolektabilitas iuran BPJS Kesehatan bagi segmen peserta informal atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dapat tercapai,” ujar Netty. (CP-10)
Be the first to comment on "Netty: Menyakitkan, Peserta BPJS Kesehatan Kena Sanksi Sementara Pengelola Minta Naik Gaji"