Hercule Poirot dan Kota Kita yang Semakin Mencekam

Foto : Ilustrasi/Ist Hercule Poirot

Jika kita pernah membaca novel-novel detektif yang banyak mengupas perihal kriminalitas urban, tentu tidak dapat menafikan satu nama paling populer dalam jajaran karakter detektif sebagai agen partikelir-siapa lagi kalau bukan sebuah nama yang dikenal sebagai Hercule Poirot. Hercule Poirot merupakan tokoh rekaan yang diciptakan secara genius oleh novelis Agatha Christie, merentang pada lebih dari 30 (tiga puluh) novelnya. Dalam novelnya, diceritakan bahwa karakter ini dilahirkan di suatu wilayah di Belgia, berperan sebagai polisi hebat, lalu pindah ke dataran Inggris sesudah Perang Dunia I dan menjalani hidupnya sebagai detektif swasta.

Dalam karya-karya Agatha Christie tersebut, Hercule Poirot merupakan Sang Idola yang kiprahnya banyak mengungkap kasus-kasus pelik kejahatan yang menjadi kliennya. Poirot mendalami sebuah kasus dengan pendekatan penyelidikan yang tak terduga dan terkadang mencengangkan kita selaku pembacanya, menemukan kunci-kunci mengungkap kasus dengan cara mendalami motif para pelaku yang bersinggungan dengan dirinya. Beragam kisah berkelindan yang dituturkan oleh Agatha Christie via Hercule Poirot sejatinya adalah refleksi dari gejolak yang terjadi di masyarakat di belahan dunia manapun, dimana kisah-kisah kelabu dengan pelbagai modus kejahatan yang melecut kejadian-kejadian naas mencekam dan membuat publik geram, atau boleh jadi terusik kehidupannya dengan ketakutan-ketakutan pedih membayang di hadapannya.

Kota Cirebon dan wilayah di sekitarnya dilanda banalisme kejahatan akut. Setiap hari tindak kejahatan bisa terjadi dimanapun dan kapanpun. Kejahatan menyambangi sudut-sudut kota, di luar jangkauan nalar kita, bahkan di jantung kota yang ramai dan banyak orang berkumpul melaksanakan aktivitas keseharian pun kejahatan meletus. Kota kita yang padat penduduknya ini mulai tercabik-cabik kohesi sosial-nya hingga makin memicu maraknya aksi kejahatan. Jamak dipahami, bahwa tindakan kejahatan bukan hanya ada niat atau motif tertentu, tetapi juga adanya kesempatan untuk melakukan perbuatan. Harus pula ditambahkan di sini bahwa selain kesempatan, tatanan sosial juga menjelma faktor utama pemicu kobar api kejahatan menghanguskan kota kita tercinta ini. Tingkat ekonomi warga yang semakin lemah, keluarga berantakan, pemujaan terhadap kekerasan, perilaku obsesif terhadap peniruan tayangan media dan penyalahgunaan narkoba merupakan faktor-faktor yang memilih kekuatan sebagai daya ungkit suatu kriminalitas muncul dan menemukan momentumnya.

Ketika warga kota kita hendak pergi ke luar rumahnya untuk bekerja atau berniaga, maka bayang-bayang mencengkram akan tindak kejahatan muncul merekah dalam benak mereka. Mereka menjadi linglung dan mau menuntut rasa aman kepada siapakah, ketika kota kita sudah tidak lagi bisa memberikan jaminan yang pasti-jaminan yang bahkan BPJS-pun tidak mampu menjangkaunya. Kejahatan merebak, bau amisnya menerjang rumah-rumahtangga yang sudah dipusingkan dengan semakin terpuruknya ekonomi keluarga. Warga kota kita, tentu saja, semakin panik menerima kenyataan yang melukai ini. Mereka berupaya keras untuk selalu mengingat agar menggerendel dan memalang pintu rumahnya. Pada malam harinya, mereka berusaha memenuhi hajat hidupnya selekas mungkin tanpa berlama-lama berkeliaran di jalanan. Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin keamanan terus terpelihara ketika kejahatan merajalela mengangkangi setiap kelokan kota. Bagi warga kota, kejahatan yang semakin tak terkendali tersebut seolah-olah memecundangi kehidupan mereka, membiarkan mereka dilanda kecemasan bertumpuk-tumpuk. Ngeri rasanya hidup tak terlindungi keamanan dan kenyamanannya.

Belum lama berselang di kota kita terjadi aksi pemerasan yang berujung maut korbannya akibat luka tusuk, pelaku kejahatan secara berantai melancarkan aksinya dengan teramat leluasa. Sebelumnya, di wilayah beling bagian Timur kota kita juga tersiar kabar pembunuhan. Di tempat tinggalku, dalam semalaman sejumlah korban akibat luka bacok bergelimpangan di Puskesmas lantaran aksi brutal diduga geng motor dengan topeng hitam dan senjata tajam yang seringkali tak terkendali melancarkan aksi kejahatan di malam hari. Alhamdulillah pada aksi kejahatan pemerasan itu, jajaran kepolisian kita berhasil dengan cepat berhasil meringkus para pelakunya. Alhamdulillah, Pemkot Cirebon mendukung sepenuhnya kerja-kerja aparat keamanan dalam mencegah dan memberantas tindak kriminal. Akan tetapi, sampai kapankah kita dapat memberikan jaminan kota kita steril dari tindak kejahatan? Pertanyaan yang sukar dijawab, sebab jaminan tersebut bukanlah keniscayaan mutlak bagi warga kota kita.

Dalam tinjaun psikologis, seseorang yang melakukan kejahatan disebabkan adanya 2 (dua) faktor yang melekat dalam dirinya, yakni:  1. Mens rea (adanya niatan melakukan perilaku) dan 2. Actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan orang lain). Perilaku demikian kemudian diterapkan dalam laku keseharian di lingkungannya. Dalam laku tersebut, seseorang yang melakukan tindak kriminal tidak dapat menahan super-egonya, melakukan kejahatan sebagai sebuah kesenangan yang dinikmati, impuls-impuls ragawinya semakin membabi-buta tanpa pengendalian diri dan tanpa asuhan dari lingkungan intinya, terutama keluarga batih. Super-ego ini dikupas oleh ahli psikoanalisa Sigmund Freud.

Kota kita yang semakin mencekam ini memerlukan upaya serius dalam penanganan keamanan agar aksi kekerasan dan kejahatan dapat direduksi. Pertama dan terutama, harus ada upaya-upaya yang meyakinkan warga kota kita memperoleh jaminan keamanan dan kenyamanan dalam melakukan aktivitas keseharian mereka. Hal ini dibutuhkan kerja bersama seluruh pemangku kepentingan dengan inisiatornya adalah Pemerintah Kota Cirebon dan jajaran kepolisian. Jika dirasa perlu dan mendesak, ada baiknya diaktifkan kembali pola-pola serupa Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) yang dulu efektif di Era Orde Baru. Saya sendiri sangat merasakan betapa Siskamling ini berdaya guna bagi warga. Giliran Jaga oleh Hansip-hansip kita dengan sistem Ronda Malam mampu mencegah tindak kriminal yang meresahkan warga-semisal maling atau curanmor. Pada pukul duabelas malam biasanya para hansip memukul kentongan atau tiang-tiang listrik sebagai tanda patroli keliling ronda malam untuk meyakinkan warga terlelap dalam tidurnya hingga terjaga keesokan harinya tanpa adanya gangguan apapun.

Sistem Ronda Malam ini secara jitu mampu menguatkan kohesi/ikatan sosial, dimana warga secara guyub bergembira bersana-sama menunggu giliran jaga malam di pos ronda dan berkeliling mendeteksi tindak kejahatan. Ibu-ibu rumahtangga ikut berbondong-bondong melayani dengan mengirimkan makanan dan minuman untuk para hansip dan warga yang ikut piket jaga. Dalam ronda malam itu, fisik dan batin semuanya melek tidak sekadar begadang malam yang tak berguna. Sistem ronda malam mengajak kita mendisiplinkan diri, mewaspadai fenomena-fenomena yang mungkin terjadi sebagai akibat meletusnya tindak kejahatan di sekitar kita. Sistem ini pun mampu mengkampanyekan warga kita agar tidak berperilaku menyimpang dari tatanan sosial, terlebih akan sangat efektif di lingkungan keluarga sebagai penjaga moralitas yang pada gilirannya kemudian diterapkan pada norma-norma sosial keseharian warga.

Lebih jauh, Siskamling ini turut serta mendorong sosialisasi pencegahan tindak kejahatan berbasis RT dan RW. Tidak ada diskriminasi gender didalamnya, seluruh warga terlibat proaktif mendukung ronda malam, saling bertukar Informasi dan bertindak sebagai detektif personal. Gejala sehalus dan sekecil apapun-misalnya upaya perampokan, dapat dicegah dan dimonitor oleh warga kita. Sebagaimana Hercule Poirot, kapasitas pengelola ronda malam dengan kekompakan warga kita adalah pelita ditengah-tengah kelamnya masa depan keamanan kota kita. Saya rasa, kita perlu kembali mengadopsi sistem yang telah terbukti berhasil di masa lalu ini dengan modifikasi kekinian. Hercule Poirot terasa mengejawantah dalam diri kita, terbukti pada naluri untuk waspada dan bertahan, naluri untuk melawan perilaku yang menyimpang dalam tatanan sosial kita-yang harus diakui saat ini makin carut-marut, dimana moralitas dilemparkan ke bak-bak sampah.

Kita setiap hari dijejali dengan sesuatu yang buruk dalam kotak-kotak digital, sehingga sebagiannya dari kita bisa jadi menjadi pribadi-pribadi halu yang sesat pikirannya, yang mereka-reka tindak kejahatan dalam pikiran dan menemukan mangsanya, bahkan mungkin jiwanya mengalami pemberontakan-pemberontakan yang keliru. Benih-benih kriminalitas itu dipupuk melalui aksi amati-tiru-lakukan dari pemberitaan ataupun informasi yang secara daring dipelototi setiap harinya. Kita perlu filter diri yang kredibel dan akuntabel, perlu juga diupayakan kerjasama lintas kalangan untuk membangun sistem peringatan dini (early warning system) terhadap bahaya-bahaya kejahatan yang melilit warga kota kita. Kita perlu mendidik anak-anak kita nan polos dan bermata jernih-agar berhenti sejenak bermain pada gawai mereka. Dengan suriteladan yang secara berkesinambungan kita asuh anak-anak kita agar jeli dan pintar mengelola laku digital mereka. Saya yakin, apabila semangat keguyuban warga kota terjalin kembali-semisal dengan filosofi Cirebonan seduluran selawase/persaudaran selamanya terjalin erat kembali, kejahatan mampu kita pangkas hingga ke akar-akarnya dan kota kita tak lagi mencekam dalam menghidupi warganya.

Cirebon, 14 September 2019

Ditulis oleh

Yustiyadi (Penutur Kisah dan Pelancong Setia)

Be the first to comment on "Hercule Poirot dan Kota Kita yang Semakin Mencekam"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*