Babad Alas di Era Thanos

Foto : Ilustrasi/Ist Thanos.

Kembalikan Peradaban Air kita, kejayaan pesisir dan Pelabuhan Muarajati yang dulu pada masanya menjadi Pelabuhan sentral perniagaan dan berperan sebagai interkoneksi diantara kerajaan yang menjadi mitra Kesultanan Cirebon.

Dahulu kala, Mbah Kuwu Sangkan alias Raden Walangsungsang, putera mahkota Kerajaan Pajajaran membuka perdukuhan Caruban Nagari dengan membabad alas. Visi pendirian perdukuhan bukan hanya sekadar menjadi tempat tinggal penduduk yang akan mendiami wilayah yang dibuka, tetapi juga menjadikannya wilayah-wilayah strategis Kesultanan Cirebon di bawah panji penyebaran ajaran Islam.

Lebih dari itu, perdukuhan dibangun untuk menjadikan Caruban Nagari sebagai Puser Ing Bumi atau kiblat dunia. Kiblat dunia tersebut diejahwantakan melalui konsepsi dan rancang-bangun Peradaban Air, dimana fokus pengembangan wilayah adalah wilayah pesisir lantaran dekat dengan lautan, di samping budaya agraris yang sebagian besar juga menopang wilayahnya. Dari pengembangan pondok pesantren untuk pusat penyebaran Islam sampai dengan pembukaan lahan untuk permukiman nelayan, sudah sedari dini dipikirkan masak-masak ketika alas dibabad dan peradaban diinisiasi, sebagai wilayah baru yang mandiri dan berusaha lepas dari kekuasaan kerajaan Pajajaran.

Mari kita melakukan tangkapan layar terhadap kejayaan Islam di Cirebon pada masa lalu. Apa yang dipondasikan oleh Mbah Kuwu Cirebon lantas dilanjutkan oleh keponakannya yang melanjutkan tahtanya, Syarif Hidayatullah. Beliau menegaskan jatidiri Caruban Nagari sebagai wilayah yang diperhitungkan oleh kawan dan lawan pada masa kepemimpinanannya, sekitar periode 1479 sampai dengan 1568. Pada masanya, Pelabuhan Muarajati merupakan focal point perekonomian warganya, sehingga terasa kemajuan yang merata mencakup aspek stabilitas politik, keamanan, keagamaan dan perdagangan secara umum.

Berdasarkan manuskrip-manuskrip Babad Cirebon, diungkapkan bahwa pada masa Syarif Hidayatullah tersebut, Caruban Nagari dikenal sebagai Kota pesisir yang menggantungkan sepenuhnya eksistensi Pelabuhan Muarajati sebagai kawasan penting perdagangan internasional. Kita sama-sama mahfum, bahwa sebagai jalur transportasi, kafilah-kafilah kapal dari China, Arab dan India membawa barang dagangan dan singgah di Pelabuhan Muarajati. Kafilah armada dagang tersebut termasuk kedatangan rombongan besar Laksamana Cheng Ho, transit sebelum menyandarkan kapal penjelajahnya di wilayah Semarang.

Pada sekitar tahun 1415, armada China yang memasuki wilayah Cirebon pimpinan Laksamana Cheng Ho dan Kun Wei Ping berlabuh di Pelabuhan Muarajati. Mereka melakukan transaksi perdagangan dengan warga lokal dengan membeli perbekalan air bersih dan bahan pangan pokok untuk kebutuhan awak kapalnya. Diceritakan lebih lanjut, mereka kemudian melakukan pertemuan dengan syahbandar dan para tokoh setempat untuk membicarakan kemungkinan mendirikan mercusuar di pelabuhan. Mercuar memegang peran vital sebagai penanda memasuki wilayah pelabuhan, terutama untuk menyelamatkan perjalanan kapal-kapal laut yang mengarungi samudera di malam hari.

Selepas pembangunan mercuar tersebut, Pelabuhan Muarajati menjadi sangat ramai dikunjungi armada-armada dagang lokal dan lintas-benua, diantaranya berasal dari Persia, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Arab, Palembang, dan bahkan Eropa Barat. Pelabuhan Muarajati menemukan puncaknya dengan manajemen perdagangan ekspor-impor yang makin pesat kemajuannya, didukung oleh jaringan darat yang dimilikinya, lintasan sungai-sungai serta komoditi yang banyak diminati dalam perdagangan   internasional.

Sebagai konsekuensinya, pada gilirannya Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunungjati selaku penguasa Kesultanan Cirebon membuat beberapa kebijakan penting, yakni mengembangkan personil pengelola pelabuhan dan membangun sarana penunjang pelabuhan semacam perbengkelan kapal. Bengkel-bengkel baru didirikan untuk membuat dan memperbaiki perahu-perahu berukuran besar yang mampu berlayar jauh ke lautan luas.

Sunan Gunungjati juga turut memperhatikan nasib para nelayan yang bermukim sepanjang jalur Pelabuhan Muarajati dengan mendirikan semacam pusat-pusat kerajinan pembuatan jala dan alat tangkapan ikan untuk mereka. Dengan demikian, Pelabuhan Muarajati semakin berkembang sejak masa kepemimpinan Jumajan Jati hingga pada masa penggantinya menuju kemapanan.

Dari lintasan sejarah yang penulis dedah di muka, kita menjadi semakin memahami bahwa perdukuhan Caruban Nagari yang awalnya hanya perdukuhan baru yang tak begitu diperhitungkan sebagai jalur perniagaan, dengan keberadaan Pelabuhan Muarajati berevolusi menjadi kiblat dunia pada masa keemasannya, terutama menjadi pelabuhan yang utama di sepanjang jalur Pantura (Pantai Utara) Pulau Jawa.

Peradaban Air yang penulis singgung pada bagian prolog, ternyata memiliki relevansi dan mengandung kebenaran dalam sejarah pendirian Cirebon. Meskipun pada akhirnya pada masa Hindia Belanda berkuasa sekitar tahun 1865, Pelabuhan Muarajati dipindahkan ke wilayah sekarang sebagai Pelabuhan Cirebon, namun masih memperlihatkan zaman kejayaannya sebagai cerminan Pelabuhan Muarajati di masa silam. Babak sejarah tersebut, dengan segala dinamika yang ada merupakan refleksi konkret kompas petunjuk kita menggerakkan langkah-langkah jitu pada masa depan.

Apa yang menjadi pelajaran berharga semestinya menjadi pijakan kita dalam menyusun langkah-langkah strategis untuk meneroka kembali kejayaan peradaban air pada masa kiwari. Kita tancapkan tonggak kembali ke waluya jati kita sebagai kota dengan peradaban maritim yang maju, disokong dengan religiusitas warganya. Kita jadikan konsep Peradaban Air sebagai batu loncatan untuk merekonstruksi Pelabuhan niaga. Kita kembangkan Caruban Nagari modern dengan program-program berkelanjutan yang memihak pada keseimbangan lingkungan hidup.

Kita harus sesegera mungkin mengembangkan dermaga-dermaga luas untuk kapal layar, jika dibutuhkan bahkan kita harus menata ulang kawasan Muarajati, Bukit Sembung dan Astana Gunungjati yang kini secara yuridis termasuk dalam wilayah Kabupaten Cirebon. Tentunya, kita perlu juga bekerjasama membangun Cirebon dengan daerah sekitarnya secara sinergis dan berkeadilan.

Ada banyak cara yang kita butuhkan, sebagaimana perdukuhan Caruban Nagari ini dibentuk dari babad alas dan perdukuhan dibangun dalam kerangka ajaran Islam. Maka, di era sekarang ini, meminjam viralnya tokoh  Thanos dalam saga The Avangers, kita perlu membabad alas-alas yang semrawut; meronta-ronta dalam kepala kita, melilit bagai Medusa. Alas-alas gelap pekat itu rupanya telah lama mengangkangi kepala kita dengan cara membelit kejernihan berpikir dan kejujuran bertindak.

Pelabuhan, pesisir, jalur-jalur  sungai aset kita, lebih jauh dikenal dalam aras Peradaban Air dipandang cocok sebagai prime mover- khususnya bagi wilayah Cirebon yang sangat strategis letaknya. Cirebon menempati assembly point jalur Pantura, dikenal sebagai wilayah hinterland ditengah-tengah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Barangkali cara yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong pembangunan daerah berlandaskan pengembangan Peradaban Air di era modern.

Mari kita babad dengan tegas kejumudan birokrasi, egosentrisme kekuasaan absolut dengan secara proaktif melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam memberikan masukan untuk membangun kota kita tercinta ini. Kita perlu me-rebranding Cirebon sebagai Kota pesisir yang religius, mendamba lagi kedigdayaan Peradaban Air di Era Thanos. Alas-alas ketidakcakapan pengelolaan wisata sebagai Kota cagarbudaya dan budaya pesisiran mesti dibabad dan direorientasi dengan kampak kejujuran, dengan golok cabang yang merangkul banyak pakar dan tokoh masyarakat.

Kita membutuhkan riset serius dan panjang terhadap persoalan Peradaban Air ini, menyusun dan menyelenggarakan pelbagai seminar skala nasional dan kaliber internasional. Kita galakkan festival-festival terbaik yang mengangkat budaya pesisiran. Kita kembangkan program-program ekowisata kawasan mangrove dan pantai bersih, yang menjanjikan kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Kita perkuat kesetiakawanan sosial dan memberikan jaminan bagi seluruh warga untuk bertindak selaku humas bagi branding kotanya. Kita tanamkan pikiran-pikiran baru demi mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan warga kota kita. Ayo jadikan gerakan bersama membabad alas kemunafikan dalam mengelola perilaku di dunia maya, begitu pun pada dunia hyper-realitas kita, yang kita lakoni kesehariannya selaku warga kota yang baik dan bertanggungjawab.

Kita bisa belajar banyak dari Thanos, meski kekuasaannya mutlak dan hampir-hampir tak tertandingi, meskipun dia dengan sekali menjentikkan jarinya populasi manusia seketika punah, pada waktunya akan musnah juga. Maka, menjadi sangat urgen apabila mengelola kekuasakan haruslah amanah. Amanah yang kemudian secara akuntabel kita kembalikan kepada rakyat yang kita pimpin-sebagaimana bunyi Sila ke-4 Pancasila, yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Thanos-sebagaimana pada akhir filmnya-kemudian tumbang oleh para pahlawan berbaju zirah yang tidak ingin dunia ini hancur-lebur sebagai akibat kejahatan-kejahatannya teramat dahsyat mengancam penduduk bumi.

Tentu saja, kita tidak perlu jumawa apabila Thanos-Thanos lain sudah ditaklukkan dan alas-alas menyeramkan telah habis kita bersihkan serta kita sterilkan dari segenap binatang buas, pun hantu-hantu bersemayam mengelabui kita selama ini. Tujuan pokok kita adalah mengembalikan Cirebon sebagai sentrum Kota pesisir-sejalan dengan misi menghadirkan kembali Peradaban Air yang dulu sempat mewarnai jatuh-bangunnya Kesultanan Cirebon. Misi Kita adalah menegakkan Peradaban Air tersebut merentang hingga jauh ke masa depan, memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan warga kota kita tercinta ini.

Demi mengemban misi mulia ini, menjadi hal yang lumrah  bagi kita merajut kembali kepingan-kepingan terserak yang mungkin selama ini kita salah melangkah. Peradaban Air tidak hanya dipandang sebagai missing link/tautan yang terputus, tercerabut dari akarnya. Ke depannya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, menjadi Puser Ing Bumi ataupun sebagai kiblat dunia akan kita genggam kembali jika mampu menggolkan Kota Kita sebagai Pusat Peradaban. Ada banyak akulturasi budaya yang membentuk Caruban Nagari, termasuk pengaruh budaya Arab dan China yang melebur dalam perkembangan budaya Cirebon.

Kita harus berangkat dari sejarah, memformulasikan kota kita kembali Daulat Peradaban Air. Hasil-hasil penelitian Ilmiah kita proses dan kita jadikan kajian untuk membuat program-program pembangunan yang terukur dan terarah. Kemudian secara benar diterapkan menjadi lontaran martil keberhasilan pembangunan daerah. Wisata bahari dengan pendalaman kultur baharinya dijadikan program prioritas pembangunan di kemudian hari. Sekalipun kekuatan adikodrati serupa jejak Thanos bercokol, dengan kembali ke Peradaban Air serta didukung seluruh warga kota tidak akan menggoyahkan kekuatan Kota Kita melawan kesewenang-wenangan dan Thanos di pamungkas cerita takkan lagi nongol menghantui kita.

Cirebon, 21 September 2019

Ditulis oleh:

Yustiyadi (Penutur Kisah dan Pelancong Setia)

Be the first to comment on "Babad Alas di Era Thanos"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*