LINGKUNGAN sekitar terkadang turut membentuk perilaku salah satu atau beberapa anggota keluarga. Pembentukan perilaku tersebut bergantung pada interaksi individu dengan lingkungannya. Lingkungan yang menjadi tempat individu berkegiatan bisa berupa lingkungan yang dekat, lingkungan yang jauh, lingkungan yang kongkrit, lingkungan yang abstrak, lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, lingkungan budaya atau lingkungan psikologis.
Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki kecenderungan untuk bisa berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungannya. Namun ada dua pola dasar interaksi antara individu dengan lingkungannya, yaitu penerimaan terhadap lingkungan dan penolakan terhadap lingkungan itu sendiri. Jika seseorang menerima keadaan lingkungannya, maka dia akan mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan tersebut dengan cara mendekatkan dirinya dan melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Proses penyesuaian diri tersebut disebut dengan proses autoplastic, artinya seseorang mampu mengubah dirinya atau menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya, sementara jika lingkungannya yang diubah oleh individu tersebut sesuai dengan kondisi individu dan keadaan serta kepentingan dirinya, hal tersebut dinamakan proses alloplastic. Sebaliknya jika di dalam lingkungannya ada hal-hal yang tidak disukai atau berpotensi akan mengancam dirinya sebagai sebagai individu, pada saat merasa terancam maka dia akan melakukan penolakan. Ada dua jenis penolakan terhadap lingkungan, yaitu disebut dengan aggression (perlawanan atau pertentangan) dan withdrawl (pelarian). Individu bisa melakukan aggression atau perlawanan jika kekuatan ancamannya lebih kecil dibandingan dengan kekuatan dirinya, atau minimal seimbang. Namun jika kekuatan ancaman lebih besar dibandingkan kekuatan dirinya, biasanya individu tersebut akan melakukan withdrawl atau pelarian.
Berkaitan dengan bentuk penyesuaian diri (autoplastic) yang paling hakiki adalah bentuk peniruan dan imitasi manusia terhadap lingkungannya. Peniruan mungkin saja hanya menyangkut hal-hal tertentu seperti cara berpakaian, cara berpikir, cara berbicara dan cara berperilaku. Namun jika peniruan mengubah secara keseluruhan kepribadian seseorang, maka bentuk imitasi demikian disebut identifikasi atau penyamaan diri. Dengan melakukan penyamaan diri, individu akan belajar, yaitu belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau belajar bagaimana mempengaruhi orang lain untuk menciptakan hal yang baru dengan mengubah lingkungannya, memperbaikinya, atau pun mengembangkannya. Dengan demikian, individu akan tersebut memiliki kemampuan yang jauh lebih baik untuk memperbaiki dirinya dan keadaannya untuk mencapai tujuan bersama juga untuk kepentingan bersama. Lingkungan yang kondusif merupakan hal yang diinginkan setiap manusia, ketika manusia-manusia tersebut telah berhasil memecahkan berbagai permasalahan dirinya dan lingkungannya, hal ini merupakan proses interaksi yang berhasil dari kemampuan autoplastic dan alloplastic individu yang bersangkutan.
Namun, keberhasilan atau efektifitas proses autoplastic dan alloplastic individu bergantung pada keadaan lingkungannya baik lingkungan alam dan geografinya, lingkungan sosial, budaya dan bahasanya, serta lingkungan pendidikan dan lingkungan ekonominya. Kondisi dan situasi lingkungan tersebut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu di dalam keluarganya. Jika faktor-faktor tersebut dalam kondisi yang baik dan permasalahannya dapat diatasi oleh individu dengan baik, maka hal ini akan mempengaruhi perkembangan kesehatan mental yang baik pula dari individu tersebut di dalam lingkungan keluarganya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan moral dan perilaku merupakan hasil interaksi antara faktor lingkungan dengan faktor kemampuan individu itu sendiri dalam menyikapi lingkungannya. Hal yang sangat nampak dari pengaruh faktor lingkungan yang baik selain perkembangan moral yang baik juga perkembangan dalam hal bahasa, kecakapan pergaulan sosial, kecakapan beradaptasi, kecakapan berpikir logis dan realistis serta kecakapan dalam hal problem solving.
Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap moralitas individu adalah lingkungan keagamaannya. Kepatuhan akan ketentuan agama akan membentuk kebiasaan, peniruan, penyamaan diri, rasa senang dan rasa bangga yang tertanam di dalam dirinya sendiri.
Dengan demikian, pemahaman perilaku dan perkembangan moral individu sebaiknya dilengkapi dengan pemahaman akan kehidupan dan lingkungan keagamaan yang baik di sekitar individu dan keluarganya.
Lingkungan yang aman pun berkaitan erat dengan perkembangan moral dan perilaku individu, karena moralitas yang baik terbentuk dari rasa keamanan, ketentraman, dan keterlindungan manusia dari berbagai ancaman serta gangguan baik dari sesama manusia, binatang atau pun alam. Keamanan lingkungan akan menghilangkan rasa was-was, cemas, khawatir dan rasa takut individu, sehingga mental dan perilaku individu pun berkembang dengan baik dan sehat.
Untuk itu, demi menciptakan mental dan perilaku yang baik seorang manusia yang merupakan bagian dari sebuah keluarga, setiap masyarakat sebaiknya saling mendukung dalam hal menyediakan lingkungan yang sehat di dalam berkehidupan dan berkebangsaan. Lingkungan yang sehat akan membentuk tubuh dan moralitas yang sehat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jhon Hulley (1861 masehi) “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” yang dalam bahasa latinnya adalah mens sana in corpore sano. Jadi pada dasarnya, tubuh yang kuat dan sehat dibentuk oleh lingkungan yang sehat. Lingkungan yang sehat dapat menciptakan masyarakat yang sehat serta dapat menumbuhkan generasi muda yang memiliki kekuatan fisik, mental dan perilaku yang sehat pula, pada akhirnya hal ini akan mampu menjadikan negara kuat. (*)
Penulis :
*Dosen di PTS (STIKes Mahardika Cirebon)
Be the first to comment on "Lingkungan yang Sehat Membentuk Mental dan Perilaku Sehat Individu Dalam Keluarga"