Transparansi dan Kejujuran Sebagai Ujung Tombak Komunikasi Kebijakan dan Program Pemerintah

Foto : Ist Pengamat Demokrasi dan Kebijakan Publik, Eka Pitra MPd

CIREBON – Di tengah arus digitalisasi dan keterbukaan informasi yang semakin tak terbendung, masyarakat kini menuntut pemerintah untuk lebih transparan dan jujur dalam mengomunikasikan kebijakan dan program-programnya. Tidak cukup bagi pemerintah hanya membuat kebijakan yang baik; cara menyampaikannya kepada publik dengan terbuka dan tanpa manipulasi menjadi faktor krusial dalam membangun kepercayaan. Dalam konteks ini, transparansi dan kejujuran merupakan fondasi utama dalam menciptakan komunikasi kebijakan yang efektif, partisipatif, dan berorientasi pada kepentingan publik. Transparansi dan kejujuran merupakan kunci komunikasi yang efektif yang harus dibudayakan untuk membangun kepercayaan masyarakat.

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam menyampaikan informasi yang relevan, akurat, dan dapat diakses oleh publik. Sementara itu, kejujuran mengacu pada penyampaian informasi secara utuh tanpa disembunyikan, termasuk dalam menghadapi tantangan atau kegagalan kebijakan. Dua elemen ini saling berkaitan erat dan membentuk sebuah sistem komunikasi pemerintahan yang sehat.

“Ketika transparansi dan kejujuran ditegakkan, masyarakat tidak hanya merasa dihargai, tetapi juga menjadi lebih percaya terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah. Kepercayaan inilah yang pada akhirnya memperkuat legitimasi pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Setiap kebijakan yang berorientasi pada masyarakat akan terlaksana dengan baik karena komunikasi sudah terbangun dengan baik dengan menerapkan transparansi dan kejujuran,” terang Pengamat Demokrasi dan Kebijakan Publik, Eka Pitra MPd.

Selama ini, masih kata Eka, masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah disebakan oleh tidak adanya transparansi yang dibangun oleh pihak-pihak atau oknum yang ada di pemerintahan. Terkadang beberapa oknum yang melakukan ketidakjujuran tapi masyarakat akan mengeneralisasikan oleh karena itu untuk membangun komunikasi yang efektif diawali dengan membangun kepercayaan masyarakat.

“Manfaat utama dari penerapan transparansi dan kejujuran dalam komunikasi kebijakan adalah meningkatnya akuntabilitas pemerintah. Dengan membuka proses pengambilan keputusan dan hasil kebijakan kepada publik, pemerintah memaksa dirinya untuk bertindak lebih hati-hati dan bertanggung jawab. Keterbukaan ini sekaligus menjadi benteng terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan,” ujar Eka.

Data dari Transparency International (2022) menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia hanya berada di angka 38 dari skala 100, menempatkan Indonesia di peringkat ke-45 dunia. Dibandingkan dengan Singapura (85) dan Malaysia (50), Indonesia masih tertinggal, yang mencerminkan bahwa praktik keterbukaan dan akuntabilitas belum optimal (Transparency International, 2022). Selain meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan kejujuran juga membangun kepercayaan publik. Survei Edelman Trust Barometer (2023) menegaskan bahwa institusi yang terbuka dalam menjelaskan kebijakan, termasuk saat menghadapi krisis, justru mendapat kepercayaan lebih besar dari publik. Hal ini menunjukkan bahwa kejujuran bukan kelemahan, melainkan kekuatan dalam komunikasi pemerintah. Bahkan ketika pemerintah menghadapi kegagalan, publik cenderung lebih memaafkan jika mereka merasa dihargai dengan penjelasan yang jujur dan transparan.

“Masyarakat akan memberikan empati kepada pemerintah yang menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi bukan sekedar menyembunyikan kebenaran untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Manfaat berikutnya adalah pengurangan ketidakpastian sosial dan ekonomi,” kata Eka.

Dalam bidang fiskal dan moneter, keterbukaan kebijakan dapat memberikan sinyal yang jelas kepada pelaku pasar dan masyarakat umum, sehingga mereka dapat merencanakan tindakan secara rasional. Tanpa transparansi, ketidakpastian akan meningkat dan dapat menyebabkan ketidakstabilan, baik secara ekonomi maupun sosial. Selain itu, transparansi juga meningkatkan partisipasi publik. Masyarakat yang mengetahui informasi secara menyeluruh dan akurat akan lebih terdorong untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam era digital ini, partisipasi tidak hanya berbentuk musyawarah tatap muka, tetapi juga melalui forum daring, survei kebijakan, dan ruang diskusi publik yang difasilitasi oleh pemerintah.
Namun demikian, upaya menerapkan transparansi dan kejujuran bukan tanpa tantangan. Beberapa pihak mungkin menyuarakan bahwa tidak semua informasi bisa dibuka kepada publik karena alasan keamanan nasional, stabilitas ekonomi, atau sensitivitas sosial. Selain itu, kompleksitas kebijakan juga sering menjadi alasan mengapa komunikasi kebijakan tidak mudah dipahami masyarakat.

“Oleh karena itu, tugas pemerintah bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memastikan bahwa informasi tersebut dapat dipahami masyarakat umum. Strategi penyampaian informasi masyarakat di era digital sebenarnya lebih mudah karena pemerintah dapat memanfaatkan kecanggihan tekhnologi dan kecanggihan digital untuk memberikan informasi yang tepat dan memastikan masyarakat memahami informasi tersebut,” jelasnya.

Praktik-praktik baik terkait keterbukaan informasi telah dilakukan oleh beberapa negara. Islandia, misalnya, dikenal karena anggarannya yang terbuka kepada publik, yang memungkinkan masyarakat mengetahui ke mana uang negara dialokasikan. Kanada dan Australia juga mempublikasikan laporan kebijakan dan kinerja instansi secara reguler. Di Asia, Singapura mengembangkan sistem pemerintahan digital yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi secara real-time. Estonia bahkan lebih maju, dengan sistem keterbukaan data digital yang terintegrasi secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan mereka. Negara-negara tersebut menunjukkan bahwa transparansi dan kejujuran bukan sekadar slogan, tetapi bisa diterapkan secara sistemik dengan dukungan infrastruktur dan komitmen politik yang kuat. Negara tersebut dapat dijadikan contoh bagaimana pemerintah membangun kepercayaan dan transparasi ke masyarakat umum terutama terkait persoalan anggaran yang lebih sesitif.

Indonesia sendiri telah memiliki dasar hukum untuk keterbukaan informasi publik, yakni melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pemerintah juga telah mengembangkan portal data terbuka, menyusun laporan kinerja instansi, dan membuka saluran komunikasi publik. Namun, tantangan implementasi masih besar. Menurut laporan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) 2024 dari Komisi Informasi Pusat, skor nasional berada di angka 75,65 naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur masuk dalam kategori sangat baik dengan skor di atas 80. Namun, daerah seperti Maluku dan Papua Barat masih berada di bawah skor 60, menandakan masih lemahnya komitmen dan kapasitas dalam membangun keterbukaan (Komisi Informasi Pusat, 2024).

Contoh inspiratif datang dari Kota Cirebon, yang pada tahun 2024 dinobatkan sebagai “Kota Informatif” di Jawa Barat. Penghargaan ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap keterbukaan informasi dapat dilakukan secara nyata di tingkat daerah. Penjabat Walikota Cirebon, Agus Mulyadi, menegaskan bahwa penghargaan tersebut bukan akhir, melainkan awal dari komitmen pemerintah kota untuk terus meningkatkan akses informasi yang cepat, tepat, dan akurat. Ini merupakan contoh konkret bahwa dengan kemauan politik dan sistem yang baik, transparansi dapat diwujudkan, bahkan di tingkat lokal.

Meski demikian, pemerintah tetap harus berhati-hati dalam mengelola transparansi. Informasi yang terlalu teknis atau disajikan tanpa konteks justru bisa menimbulkan kebingungan publik. Oleh karena itu, edukasi publik dan literasi kebijakan menjadi komponen penting dalam ekosistem keterbukaan. Informasi harus disajikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, serta disertai forum diskusi atau tanya-jawab yang memungkinkan masyarakat memahami konteks dan dampaknya secara lebih menyeluruh.

“Transparansi dan kejujuran merupakan fondasi yang tidak dapat ditawar dalam komunikasi kebijakan dan program pemerintah. Keduanya membentuk ekosistem komunikasi yang sehat, memperkuat kepercayaan publik, mendorong partisipasi masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas kebijakan,” paparnya.

Pemerintah Indonesia sudah berada di jalur yang tepat, namun konsistensi, penguatan kapasitas lembaga, dan literasi publik perlu terus ditingkatkan agar transparansi tidak hanya menjadi jargon, melainkan menjadi budaya birokrasi yang melekat dalam setiap lini pemerintahan. (CP-10)

Be the first to comment on "Transparansi dan Kejujuran Sebagai Ujung Tombak Komunikasi Kebijakan dan Program Pemerintah"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*