Bersabar Di Tengah Pandemi Covid-19

Foto : Ilustrasi/Ist Corona Virus Disease-19 (Covid-19)

Kita tahu hari-hari ini dunia dibuat panik dengan merebaknya penyebaran virus jenis Novel Corona, yang kini secara global dikenal sebagai Covid-19 (Corona Virus Disease-19). Kita tidak perlu memperparah keadaan dengan memposting apapun yang menambah kepanikan warga kota tempat kita bermukim. Alih-alih menggerutu dan berpangku tangan, saya yakin masa ada cinta diantara sesama dan empati merekah di tengah-tenga pandemi Covid-19 ini. Virus ini pertama kali muncul di Wuhan, China sebagai akibat mutasi dari inangnya melalui hewan, lantas menularkannya ke manusia. Pada perkembangnya, Covid-19 menyebar secepat kilat hingga sekarang sudah lebih 200 nengara yang terjangkit.

Pandemi parah ini membuat kita tidak bisa kemana-mana, berdiam diri di rumah mengisolasi diri, apapun istilahnya. Hari-hari gelap dan meresahkan ini, untungnya bagi saya dapat membaca lebih banyak buku. Secara kebetulan, saya membaca ulang Love In The Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez, maestro sastra aliran realisme magis, pemenang Nobel dari Kolombia yang populer dengan buku Seratus Tahun Kesunyian. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara Fermina Daza yang awalnya menolak kasih Florentino Ariza dengan menikahi Dr Juvenal Urbino. Ketika suaminya meninggal dunia, Fermina membuka hati untuk Florentino, meskipun sudah sangat terlambat.

Kisah tersebut berlatar wabah kholera, bekelindan jalinan kasih masa muda diantara tokoh utama dengan teramat apik dan mampu menyuguhkan airmata dan permenungan sepanjang alurnya. Tetapi, bukan kisahnya yang saya cermati kali ini. Saya menyadari betapa berat perjuangan Florentino, terlebih dengan situasi kala itu, penyakit kholera menggerus kehidupan warga secara tragis. Ingatan ini membuat kepala saya berdentam-dentam, melayang pada kisaran tahun 1980-an dimana wabah kholera menghinggapi tempat kelahiran saya, Cirebon. Periode itu, hampir seluruh keluarga besar saya diserang wabah kholera, mulai dari ayah saya, paman, nenek, bibi dan termasuk kakak saya sendiri.

Diare hebat, kehilangan cairan bergalon-galon dan kondisi tubuh yang sangat kepayahan merupakan gejala umum kholera. Saya masih bisa memotret keadaan di masa itu; bangsal-bangsal rumah sakit Ciremai penuh dengan manusia tergeletak, sebagian dengan meregang nyawa berjuang dari sergapan maut wabah kholera. Paramedis dan dokter tidak cukup ikhtiar untuk menanggulangi wabah kholera yang merenggut banyak nyawa. Puskesmas dan bahkan posyandu darurat didirikan demi menampung orang sakit.

Namun demikian, dulu-ketika Alat Perlindungan Diri (ADP) sangat minim sekalipun, para petugas kesehatan bekerja bukan dengan mereguk pencitraan, tetapi bekerja keras menanggulangi bertambahnya korban yang jatuh dan nyawa melayang sesegera mungkin ditolong.

Wabah Kholera yang melubangi sebagian masa kecil saya itu, bertahun-tahun kemudian masih terasa menempel di otak. Kejadian tersebut memberikan pengalaman buruk sekaligus kesadaran agar suatu saat nanti saya bisa mengedukasi sekitar akan pentingnya menjaga kelangsungan kesehatan diri dan warga, baik dengan penyuluhan ataupun dengan menulis di media massa.

Jika kita menaiki kapsul waktu meluncur ke masa silam, sejatinya telah banyak pelajaran dari pandemi yang pernah terjadi dibelahan dunia dari lintasan waktu ke waktu. Seharusnya, kita sebagai manusia mampu meningkatkan kewaspadaan dan deteksi dini. Pandemi paling parah yang pernah terjadi di alam semesta ini, yakni wabah influenza yang menelan korban sebanyak 21 juta jiwa pada akhir Perang Dunia I. The Black Deathi atau kematian hitam sebagai akibat wabah pes di daratan Eropa membunuh sepertiga penduduk benua biru tersebut, secara statistik menunjukkan grafik tujuh puluh persen di sejumlah kota. Dataran Eropa saat ini dikangkangi El Maut yang amat kejam sebagai akibat kuman yang disebarkan tikus-tikus liar pembawa bencana.

Penyakit menular sepanjang sejarah manusia bermukim di muka bumi, yang menampar kejiwaan kita menjadi teramat gegar, mengalami pengurangan dan mutasi mendadi semakin parah kadarnya sejak abad lampau. Penyakit-penyakit yang menelantarkan kita menjadi pandemi jika kita tilik secara cermat memiliki persamaan ciri. Pertama, penyakit-penyakit itu persebarannya sangat cepat, mereka menginfeksi satu orang kemudian menularkan ke yang lainnya, dengan hasil seluruh penduduk di suatu wilayah terpapar dalam waktu singkat. Dari Wuhan, China ke Asia Tenggara ke Iran dan kemudian Benua Eropa, berlanjut ke Benua Amerika, pandemi Covid-19 merajalela dan tak tertangkal halangan apapun. WHO sebagai induk kesehatan dunia telah mewanti-wanti untuk melakukan upaya preventif dengan jalan lockdown. Sebagian negara menurut, sebagian lainnya bervariasi mengambil kebijakan yang dirasa baik untuk menanggulangi penyebaran pandemi virus tersebut.

Hal kedua yang menjadi ciri pandemi adalah sifatnya sebagai penyakit akut, dalam waktu singkat bila kita terpapar penyakit tersebut pilihannya adalah mati atau sembuh total. Tentu, kita akan sangat berduka dengan korban meninggal dunia yang terus-menerus bergejolak mengalami penabahan signifikan setiap harinya, misalnya di Indonesia ini. Jika kita sebagai pasien sembuh dari penyakit ini, maka yang kita dapatkan bisa saja seumur hidup kita kebal terhadap virus ini, meskipun risikonya tetap tak tetanggukan selama terjangkit virus Covid-19.

Ada banyak maslaah yang mencuat seputar debat mengatasi pandemi ini seperti hal-hal menyangkut ketersedian ADP, bangsal perawatan, mendorong karantina wilayah, pembatasan sosial/social distancing atau sepenuhnya lockdown, menemukan vaksin virus untuk menghambat penyebaran, ketersedian logistik dan peralatan kesehatan. Kebijakan untuk work from home, learning from home, praying at home tidak membuat warga kita diam di rumah. Ada yang bebal, ada yang nurut dengan anjuran Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah, ada juga yang masa bodoh tidak mempedulikannya.

Kita sebagai warga negara berhak khawatir jika laju pandemi Covid-19 ini dari hari ke hari semakin menggelembung yang terbunuh melawan virus licik ini. Bisa saja kita terkena nasib yang sama dengan pasien-pasien yang terbaring di velbed rumahsakit menjalani isolasi minimal selama 14 (empat belas) dalam pengawasan tenaga medis. Kita perlu membangun pemahaman bersama dan sinergitas antara Pemerintah dan warga negara untuk menekan jumlah korban, setidaknya di wilayah kita sendiri.

Bersabar Di Tengah Pandemi Covid-19 ini bisa dilakukan dengan tetap istiqomah tinggal di rumah saja, tanpa berpergian atau lalu-lalang di jalanan jika tidak urgen sama sekali, seperti untuk membeli sembako dan kebutuhan lainnya atau mengunjungi fasilitas kesehatan. Kesabaran itu kita pupuk juga demi masa depan keluarga kita agar pandemi Covid-19 segera berlalu. Bersabar berarti minimal memedomani perilaku kita seperti berikut ini:

Mentaati Imbauan pemerintah bekerja di rumah, belajar dan beribadah di rumah tanpa kecuali selama batas yang tidak ditentukan;

Melakukan kerja-kerja poduktf seperti membaca, menulis, membuat content video edukasi dan kampanye untuk melawan pandemi Covid-19;

Membiasakan diri berperilaku hidup bersih dan menularkannya ke anggota keluarga dan lingkungan terdekat;

Tidak mendekati kerumunan massa dan menghindari kumpul-kumpul dengan lebih banyak beraktivitas di rumah;

Berbagi melalui bakti sosial, penyaluran paket sembako;

Menanamkan sikap optimisme dan penyerahan diri kita kepada Tuhan smapai akhirnya pandemi Covid-19 ini lenyap di muka bumi atas ridho-Nya.

Tentu saja, terlepas dari kerawanan dan kegawatan Pandemi Covid-19, ada banyak hikmah yang bisa kita petik seperti banyak waktu kita untuk keluarga dan saling menguatkan, betapapun remuknya hati kita semua menghadapi bencana massal ini. Berdoalah, doa yang tulus akan menembus langit hingga lapis ketuju, insya Alloh. Bersabarlah bahwa Pandemi Covid-19 ini hanyalah Cara Tuhan menegur kita dengan kasih-sayang tanpa batas, bukan dengan murka. Semoga.

 

Cirebon, 04 April 2020

Oleh: Yustiyadi

(Direktur Eksekutif Kampanye Menggemakan Pemimpin Muda)

Be the first to comment on "Bersabar Di Tengah Pandemi Covid-19"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*