PPKM Darurat Dalam Prespektif Hukum

Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UTA'45) Jakarta, Dr Drs Cecep Suhardiman SH MH.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang saat ini diberlakukan dengan menggunakan istilah PPKM Darurat mulai tanggal 03 Juli 2021 s/d tanggal 20 juli 2021, sebagai upaya memutus rantai penyebaran dan penularan Virus Corona (Covid-19) yang saat ini sudah muncul dengan berbagai varian, tentu menjadi perhatian Kita bersama untuk berkontribusi dan setiap upaya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memutus rantai penyebaran dan penularan virus corona covid 19 ini tentu kita semua mendukung terlepas masih ada pro dan kontra dalam pelaksanaannya.

Penanganan penyebaran dan penularan Virus corona (covid-19) ini sudah berlangsung dari Bulan maret tahun 2020 ditandai dengan diumumkannya 3 (tiga) orang yang terkonfirmasi positif covid-19 oleh Presiden RI Ir. H. Joko Widodo. Pasca pengumuman oleh presiden tersebut, kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat dengan memberikan kewenangan yang luas juga diberikan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi) maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dengan berbagai nama atau istilah dimulai dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) kemudian PPKM Mikro (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dengan skala mikro/kecil kemudian saat ini PPKM Darurat di Pulau Jawa dan Bali.

Dalam perspektif hukum, pemberlakuan PPKM dengan menambahkan kata Darurat tentu mempunyai konsekwensi yang besar dari sisi pemerintah dan situasi negara, sebab kata PPKM Darurat sama dengan situasi atau keadaan dalam Bahasa hukum disebut Overmacht (keadaan memaksa) atau keadaan darurat itu dahulu dikenal sebagai staat van oorlog en beleg atau dalam Bahasa lain disebut sebagai state of emergency adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi-fungsi pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktivitas, atau memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan rencana-rencana penanggulangan keadaan darurat yang tidak hanya bentuknya (penyekatan mobilisasi warga), pada waktu dulu pernyataan darurat ini lebih dikenal karena terjadinya bencana alam, kerusuhan sipil dan adanya pernyataan perang.

Dalam perspektif hukum atau perundang-undangan di NKRI istilah PPKM, PPKM Mikro dan PPKM Darurat ini tidak ditemukan dalam referensi atau delegasi/perintah atau penyebutan dalam perundang-undangan. Undang-undang yang menjadi rujukan dalam penanggulangan pandemi virus corona covid 19 ini adalah Undang-undang No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dalam undang-undang tersebut istilah yang dipergunakan adalah Karantina, Karantina Wilayah, Karantina Rumah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Penetapan PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang didasarkan pada Instruksi Mendagri No. 15 Tahun 2021 menurut saya tidak tepat karena penentuan darurat termasuk karena pandemi harus ditetapkan dengan Undang-Undang atau minimal  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu), karena dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1 dan 2 serta Pasal 8 ayat 1 dan 2 dijelaksan bahwa peraturan Menteri/Instruksi Menteri itu mempunyai kekuatatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sedangkan dalam UU No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan secara tegas menyatakan bahwa Menteri yang berwewenang untuk itu adalah Menteri Kesehatan bukan Menteri Dalam Negeri.

Penetapan PPKM Darurat ini kalau mengacu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan BAB II Pasal 4 sd Pasal 6, maka yang dilakukan saat ini mulai tanggal 03 Juli 2021 s/d tanggal 20 Juli 2021 adalah sama dengan “Karantina Wilayah” sehingga secara otomatis berlaku Pasal 55 UU 6 Tahun 2018 yaitu  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten / Kota) “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan dasar hidup orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”. Sehingga pemerintah tidak lepas tanggung jawab dengan melarang warga beraktivitas, melarang warga berjualan, menutup perkantoran yang disebut non essensial termasuk para pedagang sektor informal (PKL) dan dikenakan sanksi bagi yang tidak mentaati, termasuk menutup sementara tempat ibadah padahal tempat ibadah merupakan tempat yang bersih dibandingkan dengan pasar tradisional.

Bahwa atas hal-hal tersebut diatas kiranya perlu dilakukan koreksi atas kebijakan tersebut dan tidak ada kata terlambat untuk berbuat yang lebih baik untuk kebaikan rakyat, bangsa dan negara.

Wallahu A’lam. (*)

Be the first to comment on "PPKM Darurat Dalam Prespektif Hukum"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*