Di tanah merah, hutan belantara dan lapang kaubakar: gosong belaka asap membubung menyesatkan jiwa bersama, dari reruntuhannya terdengar jerit mengangkasa: bayi, bocah, emak-emak, lelaki terlunta, berjamaah tersiksa.
Lantas kauberdalih segalanya terjadi lantaran kemarau durjana: betapa pedih, kausalahkan musim, padahal sejatinya kau yang menyulut bensin. Api berkobar tak gentar melalap hebat alas kami, bagai kemamang bergoyang-goyang tebar kemunafikan tanpa pernah dihalangi belukar setinggi dada, sedepa dihadapan kita.
Baru-baru ini ramai pemberitaan bencana asap menerjang beberapa daerah yang langganan hutan dan lahannya terbakar atau sengaja dibakar. Bencana ini setiap tahunnya menjadi momok kita semua, terlebih pada wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan. Lagi dan lagi, udara berasap sangat mengganggu dan membuat marah negeri jiran kita, terutama yang melancarkan protes keras ialah Malaysia. Karhutla ini merupakan masalah pelik yang apabila kita runut secara jeli, sejatinya merupakan perselingkuhan antara kekuasaan anti-kritik yang cenderung otoriterian dengan kapitalistik yang memperdayai iman kita. Dari balik kabut asap menggulung langit, menggeleparlah manusia dan satwa tak kuat menghela napas sarat karbon monoksida (Co2). Negara lewat oknum-oknum kekuasaan menggemakan kepicikan dalam memelihara ekosistem alamiah kita.
Wilayah Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah tergolong wilayah terparah dengan sebaran titik-api/hot spot terbanyak diantara povinsi lain yang terkena dampak kebakaran hutan. Sebagian wilayah Riau langitnya pekat tertutup asap. Sebagai contoh, ibukotanya Pekanbaru kabut asap sangat tebal hingga menyebabkan jarak-pandang menghampar sejauh tigaratus meter. Udara benar-benar kotor, menyesakkan pernapasan dan membuat kepala pening tidak terkira. Kualitas udara yang jauh dari segar menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan meluas diantara warga terpapar asap, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan penyakit gangguan pernapasan lainnya. Posko-posko kesehatan didirikan warga, Pemerintah dan aktivis kemanusiaan untuk mengobati para pasien sekaligus upaya bertahan dari gelegar bencana nasional kepulan asap ini.
Dari laporan dan kajian pelbagai sumber, semisal organisasi penyelamatan lingkungan, begitu pun kajian dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPD) yang juga telah banyak diinformasikan di media, sesungguhnya Karhutla sebagian besarnya lebih disebabkan oleh tangan-tangan manusia tidak bertanggung jawab. Bencana tersebut tidak melulu murni akibat musim kemarau yang dituduhkan salah-alamat kepadanya. Salah satu cara terampuh untuk menegakkan hukum bagi para pelaku pembakar hutan dan lahan ialah dengan menjeratnya setegas mungkin agar ada efek jera. Hanya saja, harapan tersebut hampir-hampir pupus dikarenakan para pembakar hutan dilindungi secara ajaib oleh oknum tertentu pemegang kekuasaan, bolehlah dikatakan jika mereka selama ini telah kebal hukum.
Kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sudah menjadi bencana yang permanen, yang dari tahun ke tahun terus menggunduli hutan kita dan persebarannya semakin meluas. Kondisi demikian secara ajeg menimbulkan gelombang protes warga dan juga menuai kecaman dari negara-negara tetangga yang terkena dampak. Indeks Kualitas Udara yang kita hirup menjadi merosot tajam dan membahayakan keberlangsungan kehidupan kita sehari-hari, kota menjadi tidak layak huni untuk ditinggali serta kita bekerja di sana.
Tidak sedikit kerugian yang kita tanggung sebagai akibat kebakaran hutan dan meruyaknya kabut asap di suatu daerah. Selain kehidupan perekonomian terganggu, sekolah-sekolah dan Kantor pemerintahan diliburkan, juga tidak berjalannya transportasi darat, laut dan udara. Selain itu, kabut asap berpengaruh besar terhadap tingkat kesehatan masyarakat, kota menjadi lumpuh tidak seperti sediakala. Kota serupa dihantam kolonialisme asap yang membikin kita tidak berkutik lagi. Secara terminologi, Karhutla (wildfires) dipandang sebagai bencana akibat lenguhan api tidak terkendali yang menghancurkan hutan, menghanguskan pelbagai vegetasi dan memusnahkan kawanan satwa. Bencana demikian dikategorikan sebagai bencana klimatologi yang diasosiakan dengan musim kemarau panjang (drought) melanda. Kebakaran hutan dan lahan memicu timbulnya titik-titik api yang di atas kakilangit memuntahkan lidah-lidah api raksasa membumihanguskan habitat kita.
Kejadian-kejadian tragis Karhutla tidak pernah bisa dijadikan pelajaran dan kembali berulang seperti anak-anak sekolah yang diremidial sebab nilai ulangannya hancur penuh angka merah. Pemicunya adalah bahan bakar, oksigen pada udara terbuka dan energi panas yang dikenal sebagai segitiga api (the triangle of fire). Dampak kritis (critical damage) dari kiamat asap ini adalah punahnya ekosistem manusia yang kita huni. Jika ini terjadi, alangkah ironis dan patut kita sesalkan. Sebagaimana telah disinggung di awal, rata-rata penyebab kebakaran hutan adalah tangan-tangan kotor manusia melancarkan aksinya (dikenal sebagai kegiatan manusia/antropogenik). Banyak hutan dan lahan dilalap si Jago Merah lantaran proses clearing lahan yang tak becus dengan sengaja menggunakan bahan bakar, api unggun ditinggal begitu saja dibiarkan masih menyala ataupun secara sengaja membakar lahan dengan tujuan membuat kegaduhan menggerogoti hak hidup banyak spesies di alam kita. Berbanding terbalik dengan campur-tangan alam dengan fenomenanya (naturogenik) sebagai penyebab Karhutla yang sebagian kecil saja berimplikasi pada bencana tersebut, bergantung pada iklim, topografi, jenis vegetasi, petir menyambar serta kondisi tanah vulkanis.
Polarisasi penyebab kebakaran hutan dan lahan menemukan pijakannya pada warga setempat yang seringkali dituduh tidak becus dalam mengelola lahan. Kita sama-sama mengetahui dari pemberitaan media, bahwa kehidupan warga yang masih nomaden/membuka lahan secara berpindah-pindah selaku perambah hutan, dianggap sebagai biang kerok pembakar hutan dan lahan. Perambah hutan tersebut juga dicap sebagai oknum terbesar pelaku pembalakkan liar (illegal logging) yang mengancam ekosistem alamiah, mencemari Daerah Aliran Sungai dan menimbulkan bencana asap setiap kali musim kering tiba gilirannya. Apabila kita telisik lebih jauh, pada dasarnya korporasi-korporasi besarlah (mereka para pemegang ekslusif HPH) yang berselingkuh dengan kekuasaan setempat membakar hutan dan lahan pada musimnya.
Mereka berdalih menyimpulkan sendiri bahwa lahan sudah tidak lagi subur dan produktif, hutan telah habis masanya, tidak lagi menghasilkan kayu-kayu berkualitas, serta tanah sudah tidak lagi gembur untuk ditanami. Solusinya, mereka dengan jumawanya membakari lahan dan hutan, menyalahgunakan previlege mereka mengelola hutan produktif tanaman pangan dan kayu keras untuk dibakar habis-habisan. Kepekaan mereka sebagai manusia sudah tidak lagi berfungsi, menganggap kekuasaan abadi dan dapat dengan sewenang-wenang mereka mainkan. Kita rakyat kemudian hanya kebagian penderitaan berkepanjangan. Pemerintah pun beranggapan keliru bahwa Karhutla sesuatu yang alami terjadi sebagai akibat pemanasan global. Mau bagaimanapun dikatakan, telinga mereka sudah sangat tuli dan menjadikan lahan gambut di Pulau Kalimantan misalnya, dijadikan kambing hitam, sementara korporasi-korporasi bebas melenggang kangkung tidak tersentuh hukum.
Bagaimana mengatasi Karhutla ini? Tidak ada cara yang paling ampuh selain mengurai sengkarut kusut kekuasaan menipu dengan kapitalistik memuakkan. Cara-cara konvensional selama ini tidak juga mampu menanggulangi ratapan bencana asap serupa neraka bagi kita semua. Hujan buatan, water bombing, memberlakukan Perda (Peraturan Daerah) Perlindungan Hutan dan Lahan pada wilayah-wilayah langganan bencana kabut asap tidak juga mempan, malahan semakin majal tak bertaring. Bencana ini semakin ekstrem dan kita dibuat kalang-kabut meredamnya. Menyikapi peristiwa ini, upaya-upaya terpadu mesti direncanakan dan diterapkan guna menanggulangi kejadian yang terus berulang pada setiap tahunnya.
Fokus penghentian bencana asap ini adalah penegakkan hukum tanpa pandang bulu, sebab jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah kerusakan akibat ulah manusia picik. Kondisi situasional pemulihan dan konservasi lahan serta hutan mestinya dimaknai tidak hanya mereboisasi dan mengikhtiarkan untuk mengisolasi sumber-sumber bencana dengan memadamkan titik-titik api yang menyengat. Pada galibnya, Karhutla juga mesti ditangani dengan menggelontorkan kebijakan-kebijakan konkret yang mampu menjaga lingkungan kita dari kesewenang-wenangan eksploitasi hutan dan lahan pada wilayah bencana.
Pemerintah seharusnya memberikan keyakinan kepada kita untuk tidak hanya bertindak serupa pemadam kebakaran, seketika tatkala kabut asap tebal merambati suatu daerah. Rencana-rencana Pencegahan Karhutla harus dijadikan peta jalan/ road map penanggulangan kebakaran hutan. Terkait hal ini, jalan yang bisa ditempuh antara lain, berupa: memetakan daerah-daerah rawan Karhutla untuk mengidentifikasi kondisi eksisting serta menelaah potensi fisik dan non-fisik pemicu Karhutla, harus lebih banyak lagi tindakan-tindakan kesiapsiagaan dan Patroi Hutan (sebagai contoh: memperketat pengamanan hutan lindung dan kategori Hutan Taman Nasional). Lebih jauh lagi dari itu semua adalah mengkaji ulang banyak korporasi yang memperoleh ijin ekslusif pengelolaan dan penguasaan hutan, misalnya hutan untuk tanaman industri dan upaya lain yang menjangkau kewaspadan bersama untuk mencegah kerawanan Karhutla.
Perselingkuhan-perselingkuhan binal sudah biasa dilakoni oleh pihak kekuasaan dan korporasi dalam jalinan hitam yang susah kita ungkap. Korban-korban yang ditimpakan kemudian menyasar pada warga biasa, bisa jadi orang-orang desa yang kebetulan mencari kayu bakar atauw warga yang menggarap lahan terbuka di sekitar kawasan hutan. Perselingkuhan tersebut berupa ijin penguasaan hutan yang tidak memperhatikan Norma Pemulihan Hutan dari bencana Karhutla. Korporasi keji itu melakukan tindakan kriminal demi motif-motif ekonomi keserakahan, kemudian berusaha keras menghilangkan jejak dengan menarget kemarau panjang sebagai pemicu Karhutla. Perselingkuhan lain teridentifikasi dari hal-hal semacam pembalakkan liar, modusnya dengan menghanyutkan kayu-kayu gelondongan ke aliran sungai, sementara lahannya dibakar dengan rapih. Pemilik perkebunan personal yang hanya menanam padi dan sayur-mayur atau penggarap kebun yang tak berdaya dijadikan sebagai biang keladi pembakar hutan dan lahan oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa dari mereka.
Kekuasaan totaliterian yang berhubungan mesra dengan korporasi-korporasi jahat merupakan faktor utama bencana Karhutla ini terus berlangsung dari tahun ke tahun. Dalam relasi intim eros model demikian, perselingkuhan diantara mereka mengemuka di balik Layar gelap dengan mendompleng kekuasaan. Intinya, Karhutla lebih bisa diatasi jika mampu mengusir selingkuh parah diantara mereka. Akan tetapi, kekuatan seperti apakah yang mampu mengatasinya? Apakah Daulat Rakyat yang concern meneriakkan perlunya penanggulangan strategis bencana Karhutla dapat berhadap-hadapan secara langsung dengan perselingkuhan kekuasaan? Biarkan kita menggantungkan pertanyaan ini, sebab perdebatan panjang akan terjadi dan kembali saling tuduh tidak menyodorkan solusi apapun.
Perselingkuhan liar itu terlalu sukar dibongkar oleh tangan-tangan kami yang tidak berdaya (powerless). Petisi dan mosi tidak percaya harus tersebar secara luas untuk meredam gejolak kuasa yang semakin tidak terkendali. Regulasi yang tumpul dan tidak berdampak secara sosial mesti kita laksanakan judicial review. Kita harus membangun forum-forum peduli lingkungan berkelanjutan demi masa depan konservasi lahan dan hutan agar semakin jauh dari Karhutla. Perselingkuhan itu mari kita tangkap basah, sekuyup apapun, kita hukum seberat-beratnya oknum yang terlibat dalam kepentingan sekelompoknya sendiri. Kita meminta mereka bertanggung jawab dan kembali melaksanakan konservasi hutan dan lahan untuk pemulihan lingkungan hidup.
Daulat Rakyat atas penanganan Karhutla harus menjadi Gerakan Nasional untuk mengaktifkan sensor dan alarm keras untuk menekan hubungan biner kekuasaan dan korporasi nakal pembakar rimba belantara kita-yang kelakuannya menohok dengan menyulut bencana asap pelumpuh napas kehidupan kita. Hujan buatan yang ditebar untuk mengatasi Karhutla tidak banyak mengurangi kiamat asap hutan kita. Rekayasa cuaca dirasakan gagal meredakan titik-titik api mencapai kulminasinya. Jangan sampai penanggulangan Karhutla ini bagai menggantang asap, suam-suam kuku saja. Jangan sampai selingkuh busuk oknum kekuasaan dan korporasi yang banyak memiliki hak istimewa eksploitasi hutan makin nyata membangun relasi-relasi buruk membokongi kita semua. Kita hanya rakyat awam yang menyuarakan kegelisahan ditengah-tengah kepungan asap, hanya merindukan habitat yang bersih, nyaman dan aman, tidak menghirup asap kelam sebagai penyambung nyawa. Bilakah masanya?
Cirebon, 28 September 2019
Ditulis oleh:
Yustiyadi
Be the first to comment on "Ada Api, Pasti Ada Asap dan Perselingkuhan"