Rasa Syukur Jangan Pernah Terlepas

Oleh : Yustiadi

Rasa syukur melihat ke masa lalu dan cinta ke masa kini; ketakutan, ketamakan, nafsu, dan ambisi melihat ke depan

-C.S.Lewis, Penulis Britania

Hidup kita sebagian besarnya merupakan senandung rasa syukur. Jika kita tidak bersyukur, maka sudah barang tentu kita terhempas dalam kufur nikmat. Kufur nikmat ini akan membuat kita senantiasa terjebak dalam situasi dan kondisi starving (terus-menerus dilanda kelaparan lantaran tidak puas dengan hidup kita sendiri).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa muslim yang mempraktikkan rasa syukur adalah mereka yang digaransi secara khusus memperoleh karunia dari Allah di antara hamba-Nya yang lain yang memiliki karakter kuat. Muslim tersebut selalu merasakan nikmat Allah sebagai berkah dan pengharapan. Tanpa adanya gelisah, apalagi putus asa. Allah berfirman,

“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: `Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada- Nya)?” (Al An’aam: 53)

Secara maknawiah, Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Bersyukur kepada Allah adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya” (Fath Al-Qadir, 4:312).

Sementara itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Syukur haruslah dijalani dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun al-hamdu hanyalah di lisan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 11:135)

Sementara itu, menurut ulama lain, yakni hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim dalam Thariq Al-Hijratain (hlm. 508) adalah: ”Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”
Dalam tinjuan Psikologi Positif, Robert Emmons dan Michael McCullough mendefinisikan rasa syukur sebagai proses dua langkah: 1) “mengakui bahwa seseorang telah memperoleh hasil yang positif” dan 2) “mengakui bahwa ada sumber eksternal untuk hasil positif ini.” Lebih jauh, terdapat sejumlah faktor kognitif yang dapat memengaruhi seberapa besar rasa syukur yang dirasakan seseorang dalam situasi tertentu.

Faktor-faktor tersebut meliputi niat yang dirasakan dari si pemberi (misalnya, apakah si pemberi dianggap bertindak atas dasar altruisme murni atau karena motif egois, seperti ingin meningkatkan reputasinya), biaya yang tampak bagi si pemberi, nilai yang dirasakan dari pemberian/bantuan bagi penerima, apakah pemberian/bantuan tersebut diberikan atas dasar pilihan atau kewajiban, dan sejauh mana penerima percaya pada kehendak bebas.
Di atas semua itu, jika kita kembali pada jalan Islam, rasa syukur bukanlah eskapisme ataupun pelarian diri. Tetapi, mengakui bahwa kita lemah, tanpa daya upaya . Setiap rasa syukur membuhul kita dalam keimanan yang nyata dan berdampak pada kehidupan keseharian kita. Keselamatanlah yang kita tuju. Setiap anugerah yang tercurahkan, terlimpahan dan kita genggam bukanlah bagian dari ego-sentris merasa segalanya adalah usaha sendiri. Itu dapat memicu keangkuhan hati. Keridhaan Allah Swt mengejawantah dalam bentuk rasa syukur kita.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam melaksanakan shalat malam hingga kakinya bengkak. Saat itu dikatakan kepada beliau, “Apakah engkau melakukan ini semua, ya Rasulullah? Sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?”
Beliau menjawab, “Apakah aku tidak layak menjadi hamba yang bersyukur?” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam berkata kepada Mua’dz,
“Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Janganlah engkau lupa untuk berdoa setelah selesai shalat, ‘Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini untuk senantiasa mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah kepada-Mu.”

Bersyukur dalam Kenikmatan
Boleh jadi kita kerapkali menggampangkan dengan perkatan yang sudah mahfum bagaimana saya tidak bersyukur sedangkan saya diberi nikmat tiap detik? Tapi ini lebih daripada sekadar apologi, sama sekali bukan datang dari pengakuan sejati. Pada saat kita bergelimang kenikmatan, bersyukur adalah jalan termudah. Meskipun demikian kita mesti melatihnya menjadi kebiasaan yang terus-menerus dipupuk. Ada tiga jenjang rasa syukur ini, yakni: Ketiga aspek bersyukur ini, yaitu bersyukur dengan hati (Syukr bil Qalb), bersyukur dengan lisan (Syukr bil Lisan), dan bersyukur dengan perbuatan (Syukr bil A’mal), Ketiganya adalah serangkaian perbuatan mulia yang harus saling melengkapi.
Bersyukur merupakan pijakan teguh untuk meperbaiki ibadah kita. Nikmat yang diberikan oleh Allah Swt tidak hanya dalam bentuk materi saja yang terus kita kejar setiap waktu,  tetapi juga nikmat lain seperri: waktu luang , ketenangan batin, kebahagiaan, diakrunia keluarga yangs senantiasa menemani dan mendukung kita, juga dikelilingi para sahabat dengan lingkungan yang baik. Hal inilah merupakan nikmat Allah SWT yang sangat layak kita syukuri.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkaitkan syukur dengan penambahan nikmat. Tambahan nikmat dari Allah adalah suatu yang tidak ada batasnya, a core of infinity. Sebagai manusia biasa, kita tidak akan pernah bisa dan tidak patut mengalulasi kenikmatan Allah, lantaran akal kita terlalu cetek dan tidak boleh menyelemaninya lebih jauh.
“…Maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki… ” (At Taubah: 28)
Dalam memberi ampunan, Allah berfirman,
“…Dan Allah mengampuni siapa yang diinginkan-Nya…” (Al-Maa’idah: 40)
Dalam memberi taubat, Allah berfirman,
“Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya…” (At-Taubah: 15)
Bersyukur tidak bisa dilepaskan dari cara-cara kita melakoni ahlaqul karimah sebagai muslim. Bersyukur mendekatkan kita selangkah demi selangkah menuju kebahagiaan.

Bersyukur dalam Ujian
Pada sisi yang berlawanan, kita acapkali dihadapkan pada ujian dalam hidup. Ketika diuji, kita sebagai muslim bisa saja semakin terpuruk dan bertangkus-lumus untuk keluar dari belitan beban hidup. Memang ini perkara sulit. Apalagi, jika ujian datang bertubi-tubi sampai membuat kita terhumbalang dalam kebangkrutan yang senyata-nyatanya. Maka, jatuhlah kita pada sengkarut masalah yang tak pernah kita temukan solusinya. Membutuhkan energi dan mental tersendiri dalam bingkai kesabaran agar kita mampu menghadapi ujian tersebut.
Bersyukur dalam ujian akan membentuk karakter kita menjadi muslim tangguh yang tak terbiasa mengeluh. Muslim kuat yang tidak hidup dalam bayang-bayang fatamorgana. Sesorang yang mampu menghadapi dahsyatnya ujian, akan beroleh jannah kelak. Insya Allah.
Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hasyr [59]: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa melupakan Allah berarti melupakan hakikat diri kita sendiri. Dengan bersyukur, kita tidak hanya mengingat Allah, tetapi juga menemukan kedamaian dan kekuatan untuk menghadapi ujian hidup.

Bersyukur dalam Setiap Kesempatan
Kesempatan adalah kelapangan dari kesempitan kita. Manfaatkanlah sebaik mungkin, sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang futur, yang gugur dalam dakwah dan amalan sebagai seorang Muslim. Menurut Aura Husna, ada lima hal yang menjadi penghalang rasa syukur, yakni sebagai berikut:

1. Hati yang sempit, yang disetir oleh hawa napsu, ambisi dan kedangkalan jiwa. Selalu mengeluh dan tidak terima dengan rejeki yang menghampirinya. Memperbandingkannya dengan orang lain yang lebih kaya, lebih bisa beli ini beli itu atau mudah menduduki jabatan mentereng. Kemewahan yang terus dikejar, dan apabila tidak tercapai keinginannya menyelisih Allah dengan mengatakan dimana letak keadilannya. Padahal, rejeki telah dibagi dengan sangat adil dan kita senantiasa mengabaikannya;

2. Mudah mengeluh. Keluhan cenderung akan melahirkan pikiran-pikiran dan sifat-sifat negatif dalam diri seseorang yang nantiya akan menjadi penghalang bagi dirinya untuk bersyukur;

3. Meremehkan nikmat Allah Swt, menajdikan dirinya terhimpun menjadi orang-orang yang fatalis dan jauh dari keberkahan;

4. Tamak dan enggan berbagi. Sifat enggan berbagi atau kikir merupakan mental yang selalu merasa bahwa apa yang dimiliki masih sedikit sehingga ketika dibagikan kepada sesama akan muncul kekhawatiran tindakan tersebut akan menjatuhkan dirinya pada kemiskinan; dan

5. Mudah putus asa. Mudah putus asa ketika menjalani proses perjuangan, membuat seseorang jadi enggan bersyukur karena menjadikan rintangan serta penghalang sebagai kambing hitam untuk sebuah kegagalan, dan akhirnya berhenti berjuang dan menyalahkan nasib atas kegagalan yang diterima.

Hindari hal-hal demikian. Kesempatan yang setiap waktu hadir adalah kesempatan emas. Jika tidak hari ini, kapan lagi? Jika bukan kita yang kembali menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah dan hidup dalam naungan Alquran untuk kemaslahatan siapa lagi yang hendak memperjuangkan kejayakan Islam?

Rasa syukur jangan pernah terlepas sedetikpun dari kehidupan kita, niscaya Allah Swt akan semakin menguatkan, menambah kembali kenikmatan dan menjauhkan kita dari api neraka. Aamiin. (*)

Be the first to comment on "Rasa Syukur Jangan Pernah Terlepas"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*