Pendidikan merupakan faktor terpenting dalam kemajuan suatu bangsa. Pendidikan yang baik dapat menimbulkan dorongan kebangsaan yang besar sebagai sarana ketahanan nasional. Pendidikan yang berkualitas penting agar hasil pendidikan kita dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berdaya saing di segala bidang, terutama dalam kondisi global saat ini. Diakui atau tidak, pendidikan kita -dalam implementasinya- masih bersifat formalistis, pragmatis, bahkan transaksional. Nilai moral, akhlak, budaya dan idealisme kadang menjadi sesuatu hal yang sulit ditemukan, bahkan cenderung menjadi nilai marjinal. Sopan santun (etiket) kepada orang tua, guru dan orang yang lebih tua kurang mendapat perhatian.
Pada sebagian masyarakat kita, masih beranggapan bahwa tujuan belajar adalah untuk memperoleh ilmu, dan ilmu adalah untuk memperoleh pekerjaan, dan bekerja adalah untuk memperoleh kekayaan, dan kekayaan adalah lambang kesuksesan. Makna lainnya, belajar untuk memperoleh kedudukan/status, kedudukan untuk memperoleh kekuasaan dan kekuasaan sebagai lambang kehormatan. Dalam hal ini, tujuan akhir dari pendidikan tidak lain adalah kekayaan, tahta, dan lain-lain. Akibat dari model pendidikan pragmatis ini, banyak peserta didik yang cerdas secara intelektual, tetapi jauh dari nilai moral dan spiritual.
Bangsa Indonesia tidak kekurangan orang yang cerdas, tetapi kekurangan orang yang baik. Bangsa ini tidak miskin harta tetapi miskin jiwa (rasa dan cita). Masalah bangsa Indonesia sebenarnya bukan hanya kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, tetapi terutama krisis moral, budi pekerti, budaya dan kemanusiaan. Oleh karena itu, suasana kelam pendidikan kita harus diperketat dengan memperkuat dimensi moral, etika dan budaya. Atas dasar itu penguatan moral, etik dan budaya bangsa di satu sisi merupakan respon untuk mengatasi kegelapan dunia pendidikan kita, dan di sisi lain menjadi landasan moral, motivasional dan fungsional bagi pembentukan karakter bangsa dan budaya.
Hasil pendidikan kita dalam dekade terakhir belum menghasilkan lulusan reformis, modernis, dan idealis. Jika sebelum reformasi, orang Indonesia dikenal baik dan santun dengan bahasanya, sekarang mereka dikenal kasar dan siap menghadapi amukan massa. Dalam suasana krisis identitas seperti ini, reformasi pendidikan harus tetap berjalan dengan tetap menjaga paradigma identitas bangsa. Identitas bangsa Indonesia adalah budaya dan agama nasional. Artinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan sekaligus bangsa yang beragama. Ia tidak hanya membawa kedamaian dan kemakmuran bagi bangsa secara moral dan spiritual, tetapi juga membawa kemakmuran ekonomi dan memajukan peradaban dan perdamaian dunia.
Pendidikan adalah teater untuk mengimplementasikan perubahan dalam kehidupan sosial. Fakih (2001) pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembangkitan kesadaran kritis. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah serius dan komprehensif terkait sistem pendidikan kita, salah satunya adalah strategi pendidikan transformatif. Pendidikan transformatif tidak hanya bergerak pada sisi penambahan ilmu, tetapi juga aktif dalam mendorong akhlak al-karīmah (moralitas dan spiritualitas).
Pendidikan merupakan arena untuk mewujudkan transformasi kehidupan sosial. Seseorang memiliki kecenderungan untuk dapat menawarkan solusi atas beberapa masalah dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Kehadiran ilmu dan amal dalam diri seseorang sangat penting untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, karena keduanya merupakan kekuatan yang saling mengikat.
Proses pendidikan adalah proses pembebasan dan sekaligus proses pengenalan batas-batas manusia. Dengan demikian, setiap orang akand dipandu oleh norma-norma untuk menjalani keberadaannya yang terbatas. Oleh karena itu, pendidikan transformatif adalah pendidikan dimana hak asasi manusia dihormati, yang juga berarti mengakui tanggung jawab untuk menghormati orang dan/atau masyarakat yang berbeda dari kita.
Dengan kata lain, struktur pendidikan suatu bangsa adalah salah satu metafora budayanya, yang mencerminkan ideologi dan filosofi pendidikannya. Oleh karena itu, masalah sosial bangsa tidak dapat dipisahkan dari pembentukan pendidikan yang merupakan kerangka dari proses sosial.
Sulit untuk membawa perubahan tanpa dimulai dengan Pendidikan. Perubahan sosial tentunya membutuhkan aktor yang memiliki pengetahuan, kemampuan, komitmen dan kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya.
Kegiatan pendidikan dan budaya yang membebaskan bukanlah proses perubahan yang mengarah pada alienasi pengetahuan, tetapi proses pencarian pengetahuan yang otentik untuk memenuhi keinginan siswa dan guru yang sadar akan penciptaan pengetahuan baru. Model pendidikan ini menghargai potensi yang dimiliki setiap individu, artinya peluang individu tidak dimaknai dengan bentuk penyeragaman dan sanksi yang berbeda-beda, tetapi dibiarkan tumbuh dan berkembang secara wajar dan manusiawi. Ada kesetaraan, saling pengertian, kepekaan dan pembebasan. Dengan kata lain, pendidikan kita harus menitikberatkan pada kemandirian siswa baik di dalam kelas maupun di lingkungannya. Semangat ini tentu sejalan dengan kebijakan merdeka belajar sebagai bagian dari upaya reformasi sistem pendidikan Indonesia. Tujuannya adalah untuk menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan murid serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri.
Selama tiga tahun terakhir ini, tentu sektor pendidikan kita tengah mengalami perubahan yang begitu besar, baik dari sisi pendidik maupun peserta didik. Momentum Hari Pendidikan Nasional adalah waktu yang tepat bagi setiap kita, khususnya insan pendidikan untuk merefleksikan kembali setiap tantangan dalam perjalanan pendidikan kita, sehingga kita semua mampu memastikan keberlangsungan dan keberlanjutan bangsa yang besar ini. Selamat Hari Pendidikan Nasional. (*)
Be the first to comment on "Hari Pendidikan Nasional: Momentum Mewujudkan Pendidikan Transformatif"