Kita telah sama-sama menyadari bahwa bergejolaknya Pandemi Covid-19 ini bisa diibaratkan musibah sekaligus ujian diri, terlebih dalam mengarungi Bulan Ramadhan yang sarat dengan pahala dan pengampunan dari Allah Swt.
Orang-orang yang tengah diguncang dengan bala dan cobaan tentunya membutuhkan dukungan psikologis. Kita semua harus saling menghibur diri, menguatkan hati, merenungkan takdir sebagai segenap refleksi, dengan ketentuan syariat Allah agar tidak tejerembab pada jurang keputusasaan (hopeless). Menjaga hati ketika depresi melanda memang bukan persoalan yang mudah dilakoni. Tetapi, Islam telah mengajarkan tuntunan yang baik dan tepat diterapkan bagi kalangan ummat Muslim.
Sunatullah sudah menggariskan kita bahwa kehidupan tidak berdiri sendiri, tidak lepas dari musibah menghampiri kita. Allah berfirman dalam QS Al Anbiya: 35 yakni, “Setiap yang bernyawa akan merasakan maut. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan selaku cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
Dalam sebuah Tafsir, Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa:”Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.”
Kehancuran kehidupan sebagai akibat mewabahnya Covid-19 secara global secara maknawiyah bukan hanya ujian kesehatan dan infeksi penyakit berbahaya yang membikin kita kelimpungan, tetapi juga ujian keburukan-keburukan menuju jiwa nan mati lagi hopeless.
Diantara faedah yang sepatutnya kita resapi dalam mengarungi ujian pandemi Covid-19 ini kalah mengembalikan hamba nan papa yang sebelumnya jauh dan lalai dalam mengingat Allah agar kembali kepada-Nya. Kesadaran ini secara berangsur-angsur mampu mengembalikan keyakinan diri akan adanya jalan keluar terhadap kesulitan dan kesempitan hidup. Kesadaran ini pun bermuara pada penghentian dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.
Ujian ini sepatutnya mengembalikan esensi Iman dalam diri seorang Muslim, sebab tipu daya setan dan manusia berperilaku setan sudah sangat mewabah juga.
Ibnul Qayyim Al Jauziah pernah menasihati kita bahwa:”Hati dan ruh dapat mengambil manfaat dari penderitaan dan penyakit…kebersihan hati dan ruh itu tergantung pada penderitaan badan dan kesulitannya.”
Dari nasihat tersebut dapatlah kita pahami bahwa kesulitan akan menempa kita menjadi Muslim tangguh yang Qona’ah, yang menyabarkan diri meski tekanan bertubi-tubi kita alami, sebab berdiam diri dan patah arang malah semakin menyengsarakan hidup kita.
Perasaan hopeless sesungguhnya dipicu lantaran kita tidak menemukan jalan keluar dari masalah/musibah yang melilit kita, semisal persoalan asmara, pekerjaaan atau kerendahdirian kita tatkala berhadapan dengan orang yang lebih berkuasa dan berwibawa. Jauhi sifat semacam ini, jauhkanlah kami ya Allah. Pandemi Covid-19 ini boleh jadi adalah jurang maha dalam pada kelokan celah tebing kemanusiaan yang merenggut harapan kita. Sepahit-pahitnya hopeless melambari ruh dan jiwa kita.
Allah Swt berfirman dalam Surah At Taubah ayat 51, yakni:”Katakanlah: (Muhammad) Tidak akan menimpa kami melainkan telah ditetapkan Allah bagi kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertakwalah orang-orang yang beriman.”
Jadi, Mari kita sama-sama meredam jiwa hopeless.
Ada baiknya kita teladani ini: when there is a hope, there is away. Jangan berpangku tangan. Ketika ada harapan, disitulah ada jalan. Aamiin. (*)
Kolom Tetap Ramadhan
Diampu Oleh:
Yustiyadi
(Direktur Eksekutif Kampanye Menggemakan Pemimpin Muda)
Be the first to comment on "Jangan Hopeless Tatkala Tertimpa Musibah"