Bhuana berputar serupa titiran. Semakin kencang, semakin kita dibuat mabuk kepayang. Kita disuguhkan dengan boyak lalin Informasi, sebagian gelap, sebagian terang, separuh bernilai sampah, separuhnya mulia. Kita memilah-milah atau membiarkan yang disuguhkan kehadapan kita membikiin kesel beud-terus keras-keras mencaci-maki lantaran limbung seperti ingin atau tak ingin, apa yang banyak segi diilhami sebagai utopia. Pada layar-layar smartphone, pada laku digital yang bertumpu pada status, gejolak liar kita senantiasa berpikir what’s on my mind? Untuk membangun kredibilitas, membangun apa yang menarik dalam diri kita difondasikan melalui medium kata-kata.
Pengetahuan mengarusutamkan apa yang populer dikenal sebagai personal branding menjadi diskursus yang sejatinya dimakmumi banyak orang-terlebih kaum milienal di era sekarang. Menurut Montoya, seorang ahli pemasaran internasional, mendefiniskan personal branding sebagai: seni menarik dan mempertahankan lebih banyak klien dengan membentuk persepsi publik secara aktif. Konsepsi “Jadilah Dirimu Sendiri” pada kenyataannya intisari dari jalan personal branding. Secara luas, slogan brand yourself menjadi jembatan untuk membentuk citra-diri/self-image yang kita kehendaki dan kita tujukan ke khalayak yang akan kita sasar.
Memasarkan diri-baik di ranah politik, seni-budaya, terlebih ekonomi dan perubahaan sosial menjadi sesuatu yang semestinya digarap secara serius. Citra-diri kita kemudian di-getok-tularkan dan dipresntasikan melalui aneka saluran,semacam medsos, blog, kanal Youtube, memoar, serangkian keganjenan di Whatsapp ataupun melalui pemasaran efektif-efisien dari mulut ke mulut. Selayaknya sebuah produk yang dilemparkan ke bauran pemasaran, citra-diri tersebut juga diuji batas-batas premisnya kepada khalayak yang lebih luas dengan mengetengahkan pengalaman-pengalaman kreatif, kolaboratif, kekinian yang didapat audiens/konsumen ketika berinteraksi dengan brand image kita.
Maujud-nya personal branding ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keuntungan yang didapatkan demi menggerakkan daya-dongkrak popularitas kita dan apa tujuan utama kita memasarkan diri. Tentu saja,apa yang kita kehendaki tersebut tidak melulu meniru perilaku selebritas atau ikon milinenal-dimana sesuatu yang viral belum tentu baik di mata publik. Reputasimu yang kuat dan memengaruhi orang banyak adalah pedang bermata dua. Satu sisi menguntungkanmu berkarier, sisi lain bisa menjadi jebakan-jebakan yang akan diasosiakan dengan keburukan-keburukan, tatkala paparazzi medsos dan haters menjelma akun-akun lambe doble/akun berpijakan pada ghibah yang akan mengepungmu sampai jatuh bergelimpangan.
Kita tidak bisa menghindarkan diri kita pada kesempatan pertama membangun jati-diri. Kesan apa yang diinginkan orang lain terhadap diri kita? Kita harus menguasai ilmu Kehumasan yang sekuat tenaga kita aplikasikan demi memperoleh kepercayaan publik. Ribuan dan/atau jutaan pasang-mata yang meyakini citri-diri kita positif. Demi membangun jati-diri tersebut, kita tak perlu menggerus dan memaksakan publik memercayai kebenaran photoshop, berbohong dan bersandiwara seakan-akan kita pantas diikuti dan menjadi trend-setter. Namun, terkadang, sandiwara dan kebohongan dijadikan rujukan teknis untuk memperdayai publik, bisa diistilahkan dengan “kau harusnya memilih aku” yang lebih baik, lebih cerdas, lebih keren dan punya banyak modalitas keunggulan dibandingkan orang lain. Sikap seperti ini pada banyak kasus personal branding menjadi pertaruhan hidup di medan perang sesungguhnya.
Personal branding yang terencana dan terpercaya bertumpu pada citra-diri memesonakan, bukan sekadar diskursus-diskursus manipulatif di banyak jejaring media yang kita galakkan menjadi saluran untuk mendobrak popularitas kita. Peran apa yang hendak kita ambil dan profil apa yang ingin kita promosikan? Bisa jadi kita dikenal sebagai pakar andal, politisi ulung, selebram pencipta hip, penutur kisah, entrepreneur sosial dan banyak peran sosial kehidupan lain yang memicu keberhasilan kita. Di kehidupan rril, publik menilai kita sebagai sesorang yang menginspirasi, berdampak sosial dan memicu ledakkan kesejahteraan bagi banyak orang yang mengejahwantakan nilai-nilai hidup kita.
Temukan kelebihan yang kita miliki, kita geluti dan olah sedemikian rupa menjadi sesuatu yang trendy dan menjanjikan, sehingga publik turutserta meviralkan kita sebagai sesorang yang selalu positif memandang hidup dan sukses secara karier. Media sosial kita sinergikan dengan content menarik yang bukan hanya semata “tempelan” yang dipoles, sebanyak mungkin berisi kredibilitas kita yang mumpuni.
Memosisikan diri sebagai public figure, disadari atau tidak, kita akan selalu disorot kepribadiannya di mata publik. Cepat atau lambat mereka akan senantiasa mengikuti keseharian kita, menilai dan mengomentari dan merubung seperti laron melabrak berkas cahaya. Kita boleh saja mengatakan just cut it off atau sabodo teuing, tapi yang jelas berupaya keras selalu tampil layak di mata publik adalah prioritas. Layak yang dimaksud-meski kita tengah merintis jalan sukses- bukan berarti kita tampil formal, kece, berkelas atau jumawa. Hindari hal-hal yang justru merugikan citra-diri kita. Tampillah apa adanya, nyaman, punya akuntabilitas nyata di depan masyarakat dan merangkul banyak pihak, bukan menanam kebencian di mata kaum liyan.
Terlebih di layar sabak digital, menata-ulang kepribadian unik, menggerakkan daya kepemimpinan, memasukkan content-content yang punya “wow factors” positif baik foto, video, grafis kreatif ataupun quote of the day. Jangan jadi tuturut munding, pengikut bodoh yang kerjaannya hanya mengikuti apa yang telah menjadi banyak trending topic di media sosial. Media sosial adalah ruang publik yang dinamikanya sudah betul-betul susah kita jaga, hendaknya kita mengendalikan perilaku kita, sebab apa yang kita tulis dan kita bagikan di sana, secepat kilat warganet akan menilainya.
Agar kita makin terkenal, maka kita harus menjangkau seluas mungkin dunia digital, membidik dengan content outreach dengan mengkoneksikan diri kita terhadap jejaring orang lain, dimana orang lain akan secara fungsional turut-serta dengan proaktif mengkampanyekan diri kita. Luangkan waktu kita ikut pertemuan-pertemuan publik yang dapat semakin mengakrabkan kita dengan publik.
Kebanyakan diri kita-membangun reputasi itu malah justru serupa abang-abang lambe, hanya sekadar perona gincu yang memabukkan orang lain dan membuat publik jatuh cinta secara berlebihan, maka kemudian tanpa penguasaan ilmunya, berbondong-bondonglah kita merasa sudah sah dan gagah perkasa menerapkan personal branding. Pada layar sempit medsos, kepongkahan kita semakin nyata. Betapa genit menulis status, memfitnah orang-orang yang dia lindas dan dia curangi. Mereka menantang perang dengan menabuh ember-ember yang entah kenapa dia temukan, nyaring bunyinya, tapi rigrid semata. Anehnya lagi, abang-abang lambe tersebut menelan banyak korban dan tak sadar korbanya dicocok hidungnya untuk mengikuti perilaku apapun oleh orang-orang yang viral dan diviralkan, tanpa melalui proses analisa dan penjaman pemahaman.
Abang-abang lambe telah menjadi “ras baru” yang patut dijadikan idola, tanpa kecerdikan berarti, tanpa start keberhasilan, spesialisasinya adalah rumor dijadikan teror menghamba popularitas. Inilah kegabutan baru yang semakin hari semakin kencang diperbincangkan, khususnya di bilik-bilik medsos, salah-kaprah baru terhadap manajemen personal branding. Lantas kita mesti bagaimana menghadapinya? Simpel saja, kita tak harus hirau, kita tak harus take a bow/merunduk hingga bertekuk lutut menjadi follower mereka. Oleh karenanya, diperlukan banyak permenungan dan aksi perlawanan memberangus sikap dan keyakinan abang-banag lambe yang sungguh pengecut begini.
Sabtu, 07 September 2019
Ditulis oleh
Yustiyadi (Penutur Kisah dan Pelancong Setia)
Be the first to comment on "Personal Branding Ataukah Abang-Abang Lambe"