KUNINGAN – Keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) bukan hanya menjadi kawasan konservasi saja. TNGC juga harus bermanfaat dan mampu meningkatkan ekonomi, terutama bagi warga penyangga di dua daerah yakni Kabupaten Kuningan dan Majalengka.
Selama ini, kehadiran TNGC masih belum maksimal dalam memberikan dampak positif, terutama ekonomi bagi warga disekitar lereng Gunung Ciremai. Hal ini terungkap saat FGD yang digelar Balai TNGC di aula Kantor Kecamatan Paswahan Kabupaten Kuningan.
Dalam diskusi tersebut dihadiri sejumlah pihak, baik itu dari pihak yang menolak dan yang mendukung dan mengusulkan adanya Zona Tradisional.
Hadir dalam FGD tersebut puluhan kepala desa dan KTH di dua kabupaten, Koramil, Polsek, akedemisi dari UNIKU, LSM Akar, Kabalai TNGC, Paguyuban Silihwangi Majakuning dan sejumlah pihak lainnya.
Warga Kelompok Tani Hutan (KTH) yang bernaung dalam Paguyuban Silihwangi Majakuning menginginkan, diberikan kewenangan memanfaatkan sumber daya di kawasan taman nasional sesuai aturan yang berlaku, salah satunya Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Ketua Paguyuban Silihwangi Majakuning, Eddy Syukur mengatakan, pemanfaatan HHBK sudah diatur dan diperbolehkan berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam aturan tersebut, masyarakat penyangga hutan bisa memungut HHBK di antaranya berupa rotan, getah, biji-bijian, akar-akaran, kulit kayu, umbi, buah, sagu, tanaman obat, madu, hingga bambu hutan.
“Jangankan memanfaatkan getah pohon pinus, menanam pohon kopi di kawasan Gunung Ciremai juga sudah dilarang. Artinya, keberadaan taman nasional tidak memberikan manfaat bagi masyarakat penyangga,” kata Eddy saat ditemui di Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan usai FGD.
Eddy mengatakan, untuk menyudahi polemik tersebut, KTH meminta KLHK segera menetapkan Zona Tradisional di Gunung Ciremai.
Adanya zona tersebut, bisa digunakan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional bagi masyarakat yang ketergantungan dengan sumber daya alam.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional Menteri Kehutanan, setiap taman nasional, kata Eddy, harus memiliki zonasi.
“Ini desakan yang harus dijalankan. Masyarakat punya hak, karena sudah diatur dalam undang-undang dan kami juga tidak sembarangan,” katanya.
Pantauan awak media, sempat terjadi kericuhan dan hampir adu jotos dalam FGD tersebut. Dan menyebabkan akedemisi UNIKU dan LSM Akar keluar sebelum acara berakhir.
Usai FGD, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Teguh Setiawan mengatakan, penetapan Zona Tradisional harus dilakukan melalui tahap konsultasi publik untuk mendapatkan pandangan dan masukan dari stakeholdere pengelolaan TNGC.
Menurut Teguh, akses pemanfaatan oleh masyarakat yang sedang atau akan diusulkan, harus sesuai peruntukan zona taman nasional.
“Tujuan dari pemberian akses pemanfaatan, dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kontribusi keberadaan taman nasional terhadap kesejahteraan masyarakat. Diharapkan dapat meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat dalam melestarikan taman nasional dalam jangka panjang,” paparnya.
Dikatakannya, TNGC tidak berpihak kemanapun, baik itu yang pro dan kontra. Posisi TNGC berada di tengah-tengah.
“Kami fasilitasi semuanya, kita duduk bersama dalam FGD untuk mendengarkan masukan-masukan. Yang nantinya sebagai bahan untuk rumusan yang akan kita bawa ke pusat. Yang jelas, kehadiran TNGC untuk kesejahteraan masyarakat Desa Penyangga TNGC,” tandasnya. (CP-10)
Be the first to comment on "FGD Zonasi Ricuh, KTH Desak TNGC Segera Tetapkan Zona Tradisional"