KEJAKSAN – Jaminan status Terdakwa Penganiayaan Donny Nauphar (Kepala Lab FK UGJ) dari Rumah Tahanan (Rutan) ke tahanan kota yang diberikan oleh Walikota dan Bupati Cirebon serta Rektor UGJ, menurut Kuasa Hukum Korban merupakan intervensi dalam proses penegakan hukum. Meskipun Pengadilan Negeri menyebutkan jaminan tersebut atas nama Kepala Satgas Covid-19, namun jabatan tersebut melekat.
Meskipun belakangan Bupati Cirebon H Imron Rosyadi MAg membantah telah menandatangani surat jaminan untuk terdakwa Donny Nauphar.
“Dalam kesempatan ini perlu kiranya kami menyampaikan sebuah sikap atas adanya upaya intervensi yang dilakukan oleh kepala daerah yaitu Drs HbNashrudin Azis SH (Walikota Cirebon) serta Drs H mron Rosyadi MAg (Bupati Cirebon) dimana yang bersangkutan mempertaruhkan nama baik serta reputasinya sebagai kepala daerah serta adanya ketidak netralan kampus dengan menempatkan Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon yaitu Prof Dr H Mukarto Siswoyo MSi dengan memposisikan beliau-beliau sebagai penjamin atas adanya pengalihan tahanan dari rumah tahanan negara menjadi tanahan kota atas diri Terdakwa Donny Nauphar,” ujar Kuasa Hukum Korban dr Herry Nurhendriyana, Dr Moh Djarkasih SH MH bersama klien nya dalam keterangan pers nya, Senin (5/7).
Hal itu, kata dia, berawal dari adanya informasi di beberapa media massa mengenai adanya pengalihan tahanan terhadap Terdakwa Donny Nauphar dari rumah tahanan negara menjadi tanahan kota. Hal ini di ketahui dalam sidang perdana pada Rabu, 23 Juni 2021 yang mana telah di bacakan penetapannya oleh Majelis Hakim perkara a quo yaitu Ahmad Rifai SH MH (Hakim Ketua), Hapsari Retno Widowulan (anggota), dan Aryo Widiatmoko (anggota) dengan alasan ada permohonan masuk dari terdakwa pada Jumat, 18 Juni 2021. Dimana permohonan tersebut disertakan adanya jaminan dari isteri Terdakwa juga Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yaitu Prof Dr H Mukarto Siswoyo MSi, Walikota Cirebon Drs H Nasharudin Azis SH serta Bupati Cirebon Drs H Imron MAg dengan alasan subjektif. Dan terhadap permohonan tersebut, lanjut Djarkasih, oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo tersebut di kabulkan.
“Informasi itu perlu di buktikan pula secara faktual. Karena akan dijadikan sebagai legal formil kami tentang adanya pihak-pihak yang telah memberikan jaminan pengalihan tahanan kepada Terdakwa beserta alasannya,” kata Djarkasih.
Masih kata dia, oleh karenanya pihaknya mencoba meminta salinan penetapan pengalihan tahanan tersebut sebagaimana surat kami Nomor : 25/Perm-Firma/VI/2021, tertanggal 28 Juni 2021 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Cirebon untuk kami pelajari, namun sampai saat ini surat tersebut belum ada jawaban.
“Karena dalam mengambil keputusan penetapan pengalihan tahanan tersebut, apakah Majelis Hakim tidak melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim atau sebaliknya,” ungkapnya.
Soal jaminan Pengalihan Tahanan yang di berikan oleh Kepala Daerah selaku Pejabat Tata Usaha Negara, lanjut dia, maka dalam hukum administrasi tindakan hukum tersebut berdasarkan hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari jabatan pemerintahan. Oleh karenanya perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bentuk perbuatan hukum administrasi untuk dan atas nama jabatannya yaitu sebagai Bupati dan Walikota.
“Patut disayangkan seorang Kepala Daerah sebagai pemangku jabatan publik berani menjamin dan mempertaruhkan reputasi dan nama baiknya menyangkut persoalan hukum pribadi sesorang dalam perkara pidana penganiayaan dengan alasan yang subjektif,” paparnya.
Seperti alasan bahwa Terdakwa merupakan staf ahli dalam penanggulanagan Covid-19 dan tenaganya sangat dibutuhkan dalam penanganan Covid-19 se-wilayah III Cirebon, Terdakwa merupakan ahli genetika yang sangat dibutuhkan dan Terdakwa merupakan Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Swadaja Gunung Jati (UGJ). Padahal, kata Djarkasih, alasan tersebut perlu di uji kebenarannya. Karena sepengetahuan pihaknya mengenai Staf Ahli didalam penanggulangan Covid-19, telah tertuang di dalam Keputusan Walikota Cirebon Nomor : 443.05/Kep.86-PEM/2021 Tentang Pembentukan Komite Kebijakan, Satuan Tugas Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) Dan Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Daerah Di Kota Cirebon, pada Lampiran 1 Susunan Personalia Dan Tugas Komite Kebijakan, yaitu mengenai Tim Ahli dengan susunan yakni Staf Ahli Wali Kota Bidang Pemerintahan Dan Kemasyarakatan, Staf Ahli Wali Kota Hukum dan Politik, Staf Ahli Wali Kota Bidang Perekonomian, Ketua MUI Kota Cirebon, Rektor UGJ Cirebon, Rektor IAIN Syech Nurjati Cirebon, Rektor UNTAG Cirebon, CEO Radar Cirebon, Ketua IDI Kota Cirebon, Ketua Yayasan UGJ Cirebon dan Dr Hari Santoso SKM MEpid MHkes.
“Dari nama-nama Tim Ahli dimaksud tidak tercantum nama Terdakwa Donny Nauphar. Adapun alasan lainnya bersifat politis karena sejatinya masih banyak orang yang mumpuni dan mampu untuk menggantikan posisi pekerjaan Terdakwa,” tegasnya.
Pihaknya juga menegaskan, bahwa persoalan yang menimpa Terdakwa adalah murni persoalan pribadi. Dimana Terdakwa dan klien nya sebagai korban, dan tidak ada kaitannya dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Dan hal ini seakan jelas mendiskriminasikan pihaknya sebagai Pelapor atau sebagai warga masyarakat. Sehingga, hal ini menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum dan supermasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dimana sudah jelas didalam Pasal 76 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, kepala daerah dilarang untuk membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Dan hal ini telah mendiskriminasikan dan merugikan kami sebagai Pelapor. Sehingga, hal ini perlu kiranya ada upaya dan langkah-langkah hukum kedepan. Karena dengan kasus Walikota dan Bupati menjadi penjamin dalam kasus pidana tidak dapat dilepaskan dari kebijakan atau keputusannya sebagai seorang pejabat pemerintah yang menjalankan jabatan pemerintahannya,” paparnya.
Karena, kata Djarkasih, kedudukannya sebagai penjamin tidak lepas dari kedudukannya sebagai organ pemerintah (pejabat yang menjalankan jabatan pemerintahan), sehingga hal ini berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Lebih lanjut, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Equality Before The Law). Artinya, setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memegang prinsip Trias Politika walaupun secara implisit, yang membagi ketiga kekuasaan politik negara yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif untuk di wujudkan dalam 3 jenis lembaga negara yang saling lepas (Independent) dan sejajar.
“Semestinya saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip Check and Balance, bukan mengintervensi dan terkesan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Yaitu Asas Ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak dikriminatif (vide Pasal 10 huruf c UU No. 30/2014),” terangnya.
Selain penjamin dari Kepala Daerah juga adanya jaminan Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yaitu Prof Dr H Mukarto Siswoyo. Hal ini membuktikan adanya ketidak netralan dari Pihak Universitas Gunung Jati (UGJ) dalam menyikapi perkara a quo ini. Dimana, kata Djarkasih, pihak yang berperkara adalah sama-sama sebagai tenaga pendidik (Dosen) di Fakultas Kedokteran UGJ namun didalam penanganannya Pihak Universitas Gunung Jati (UGJ) sangat terlihat sekali keberpihakannya kepada Terdakwa, dan sangat tidak berimbang.
“Dan terkesan pihak Universitas Gunung Jati (UGJ) memberikan pembelaan secara totalitas, ada apakah gerangan? Biar waktu nanti yang menjawab,” kata Djarkasih.
Pihaknya berharap, ke depan untuk penegakan hukum dalam perkara ini dapat berjalan dengan semestinya dan mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Tak lupa, pihaknya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan atensi pada klienya, terkhusus pada pihak Kepolisian Resor Cirebon Kota Sektor Utara Barat, sehingga perkara ini bisa berjalan hingga saat ini. (CP-06)
Be the first to comment on "Kuasa Hukum Korban Sesalkan Intervensi Walikota dan Bupati"